Meaning

3 0 0
                                    

Keesokan harinya, Leah mendatangi rumah Ray pagi-pagi sekali. Bibi Ray yang membukakan pintu untuknya pun merasa heran dengan kedatangan Leah, karena seingatnya Ray tidak pernah menceritakan tentang Leah kepadanya. Namun, bibi Ray tetap membiarkannya masuk karena perasaannya mengatakan Leah adalah anak baik-baik. Mungkin saja Ray baru-baru ini dekat dengannya.

Waktu itu jam menunjukkan pukul sembilan. Ray baru saja bangun dari tidurnya dan hendak mandi. Alangkah terkejutnya ia saat melihat Leah sudah duduk di ruang tamunya. Leah menoleh dan tersenyum padanya.

"Baru bangun?" tanya Leah sambil tersenyum.

"Iya, nih. Kok lo cepet banget datengnya? Gue pikir lo bakal dateng lebih siang," kata Ray.

Leah hanya tersenyum mendengar perkataan Ray. Kedatangannya di rumah Ray sepagi itu tentu saja bukan hal wajar bagi Ray. Apalagi mengingat hubungan keduanya yang menurut Ray hanya sebatas teman sekelas, membuat Ray merasa agak kurang nyaman dengan hal tersebut. Tapi ia berusaha menghilangkan pikiran-pikiran tersebut. Karena menurutnya, sejauh ini hanya Leah yang peduli tentang keadaannya.

Ray pun segera ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya. Setelah menyelesaikan segala urusannya tersebut, ia segera keluar untuk bertemu Leah yang sudah menunggunya daritadi. Sebenarnya ia tidak tahu apa yang bisa ia ceritakan dan bagaimana ia akan menceritakannya. Tapi ia rasa setidaknya harus ada yang tahu tentang perasaannya dan pikirannya. Mungkin juga Leah adalah satu-satunya orang yang tulus mempedulikannya.

"Li, ceritanya di kamar gue aja, ya," bisik Ray kepada Leah.

"Okay," jawab Leah.

Setelah sampai di kamar Ray, mereka berdua duduk di lantai dan Leah pun membuka pembicaraan.

"Ray, you okay?"

"Menurut lo?"

"Gue tau sih itu pertanyaan yang nyebelin, tapi gue beneran mau denger jawabannya dari lo langsung."

"Yah, gitu deh. I'm not okay. Dan semuanya memang persis kayak yang lo lihat di sosial media."

"Pasti ada penjelasannya, kan?"

"Gue rasa nggak, kenyataannya memang begitu. Gue ngasih hadiah ke Ben, nulis surat cinta ke dia, dan.. hahaha, as you guys know, gue ditolak. Gitu doang."

"Lo mau tau gak keadaan di luar sekarang gimana?"

"Hm?"

"Temen-temen Ben sekarang lagi pada nyebarin gosip itu. Dan gak ada satu orang pun yang mencegah itu karena lo gak muncul sama sekali dan meluruskan semuanya."

"Apa yang harus gue luruskan? Memang gitu, kan, kenyataannya? Kalo gue itu ditolak Ben dan sekarang dia udah permaluin gue. Semuanya hanya bisa gue jadiin pelajaran sekarang," jawab Ray dengan pasrah.

Melihat Ray yang bersikap pasif dan pasrah seperti itu ternyata membuat Leah cukup kesal. Ia pun menjawab, "Segitu rendahkah lo sampe lo tega harga diri lo diinjak-injak sama mereka? Lo pikir baik-baik, lo itu RAY UTOMO, sedangkan mereka itu hanya cowok-cowok berandal yang bahkan masa depannya gak jelas! Mereka itu gak ada apa-apanya sama sekali kalo enggak ngelakuin apa-apa secara rombongan sama cowok-cowok yang sama pengecutnya kayak mereka!"

Ray terdiam mendengar perkataan yang diucapkan Leah barusan. Pikirannya seperti terbuka dan ia bagaikan keluar dari cangkang. Ia merasa lega. Meskipun demikian, ia tidak menunjukkannya di depan Leah. Ia masih takut dengan kemungkinan bahwa Leah akan sama seperti Rachel, Hanna, Jessy, dan Grace.

"Jadi, apa yang harus gue lakuin?" tanya Ray.

"Gue gak tau jawabannya. Lo yang paling tau itu, Ray. Tapi, lo harus tanamkan ini di benak lo, kalo sebenarnya, banyak banget orang-orang yang iri sekaligus kagum sama lo. Mereka ingin jadi seperti lo yang percaya diri dan ceria. Dan gue salah satunya. Setiap gue jalan di samping lo, secara gak langsung aura yang lo pancarkan itu berimbas di gue. Gue jadi merasa kalo gue itu orangnya sepercaya diri dan seceria lo. Gue harap lo gak lupa tentang arti diri lo bagi orang-orang, Ray."

Air mata mulai membasahi pipinya. Mendengar jawaban dari Leah membuat Ray merasa lega. Ia kembali merasa hidupnya berarti dan bagaimana dirinya ternyata memberi pengaruh positif kepada orang lain. Rasa penyesalan juga ia rasakan karena sempat tidak menganggap Leah sebagai temannya. Karena justru Leah adalah orang yang dengan tulus mempedulikan dirinya di saat orang-orang di luar sana sibuk menyebarkan gosip tentangnya.

"Gue takut ke sekolah besok," kata Ray kemudian.

"Jelas lo ngerasa gitu. Tapi kalo lo semakin menghindari ini semua, orang-orang justru akan mengira kalo lo yang bermasalah, sedangkan pengecut-pengecut itu dengan santainya berjalan kesana kemari tanpa merasa bersalah. Meskipun gak bakal mudah jelasin semuanya ke orang-orang, setidaknya dengan kemunculan lo semuanya akan bisa terkendali, Ray. Percaya deh."

"Gue takut ke sekolah besok, Leah," tegas Ray sekali lagi.

"Tenang aja, Ray. Kita akan jalan ke kelas bareng. Besok gue dateng lebih cepet, kok, jadi gue nunggu lo aja di kantin. Okay?"

"Makasih, Leah. Makasih banget."

Tak lama kemudian, Leah menerima telepon dari orangtuanya untuk segera pulang karena sudah akan turun hujan. Wajar saja jika orangtuanya khawatir karena Leah mengendarai sepeda motor ke rumah Ray sendiri. Leah pun pamit kepada Ray dan bibinya. Setelah ia menyalakan sepeda motornya, ia berbisik kepada Ray yang masih menunggunya di depan pintu rumahnya.

"Semangat, Ray. Lo pasti bisa!"

*****

APRILWhere stories live. Discover now