"Leah Lou? Leah?"
Ray hampir lupa dengan nama tersebut. Ia juga sedikit terkejut mendengar nama Leah disebut. Ia mengira mungkin akan mendengar nama-nama seperti Rachel, Hanna, Jessy, maupun Grace. "Bodoh kalau gue berharap mereka akan nyariin gue," batin Ray.
Ray dan Leah memang hanya teman sekelas biasa. Hubungan pertemanan keduanya juga tidak bisa dikatakan dekat. Harus Ray akui, Leah memang sosok yang baik untuk dijadikan teman. Leah juga anak yang tidak banyak bicara di kelas, lebih senang menyendiri, tidak menonjol dan benar-benar anak yang sederhana. Bertolak belakang dengan Ray yang notabenenya adalah anak yang aktif, mempunyai banyak teman – mungkin tidak sekarang– ceria, dan cukup menonjol di kelas.
Tidak banyak yang tahu bahwa sebenarnya Leah akan menjadi sedikit demi sedikit terbuka dan lebih banyak bicara saat ia mulai merasa nyaman dengan seseorang. Malah, terkadang ia dapat membuka topik pembicaraan yang dalam dengan Ray. Tempat duduk Leah tepat di depan Ray, namun mereka tidak terlalu sering mengobrol. Sejujurnya, Ray terkadang merasa Leah bisa menjadi terlalu serius dan itu agak membosankan baginya. Ray merasa dirinya mungkin tidak akan cocok berteman dengan anak baik-baik seperti Leah.
Walaupun Leah dapat mulai bercerita saat ia merasa nyaman, ia tidak banyak bercerita dengan dirinya. Ray juga menganggap Leah anak yang tidak gaul, karena pernah beberapa kali Ray mengajak Leah untuk jalan-jalan ke mall seperti yang sering ia lakukan dengan sahabat-sahabatnya yang lain, namun Leah selalu menolak. Ray tahu alasannya, dan ia tidak bisa menyalahkan Leah sepenuhnya, karena ia tahu bahwa Leah bukan berasal dari keluarga yang berada. Pernah sekali Leah sempat tidak sengaja menyinggung sedikit mengenai hal tersebut dan bagaimana ia sudah mulai mencari nafkah sendiri sejak setahun yang lalu. Diam-diam, sebenarnya Ray mengagumi sosok Leah yang kuat, mandiri, dan pantang menyerah.
Ray sempat membaca beberapa komentar di postingan tersebut dan ia tahu Leah juga turut berkomentar. Awalnya, Ray mengira Leah hanya melakukannya tanpa benar-benar bermaksud untuk membantunya, terlebih ikut campur dalam permasalahan ini. Tapi ternyata, Ray salah. Leah benar-benar tulus peduli padanya.
"Hubungin dia, gih," kata Ryan kemudian,
"Okay. Eh, tapi gue pake handphone lo aja, ya?"
"No problem. Tapi, teleponannya di luar aja, Kak, sekalian temenin gue bentar, hahaha." Ray terlihat sedikit bingung mendengar perkataan adiknya, namun ia mengiyakannya.
Jari Ray mulai terlihat bergerak-gerak menyentuh layar ponsel adiknya. Ia tidak sadar bahwa adiknya menatapnya dari tadi. Sekilas, Ryan mengingat kejadian tiga tahun yang lalu, di mana saha bat kecil Ray yang bernama Nindy, pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Saat itu Ray dan Nindy masih berusia sebelas tahun. Nindy didiagnosis memiliki kanker ganas di dalam tubuh kecilnya itu. Kanker itu menyebar dengan cepat ke organ-organ lain di dalam tubuhnya sehingga ia dipastikan tidak akan dapat bertahan hidup lebih dari satu tahun. Meski sudah tak terhitung berapa kali ia menjalani kemoterapi, keadaan Nindy nyatanya makin memburuk. Kepalanya sudah benar-benar bersih tanpa sehelai rambut pun dan tubuhnya juga semakin kurus dan lemah. Melihat sahabatnya yang seperti itu membuat hati Ray sangat hancur. Sebisa mungkin ia datang menjenguk Nindy setiap akhir pekan. Terkadang Ray mengajaknya bercerita tentang sekolah, membawakan buah-buahan kesukaannya, ataupun melakukan hal lain yang dapat mereka berdua lakukan bersama.
Suatu hari, Nindy berkata, "Ray, hidupku sudah dipastikan tidak akan lama lagi. Aku juga merasa tubuhku makin hari makin lemah. Tapi aku berharap semoga Tuhan masih mengizinkanku untuk hidup sampai hari ulang tahunku, sehingga aku bisa merayakannya bersamamu dan keluargaku. Aku tidak yakin permintaanku akan dikabulkan Tuhan, tapi aku berharap semoga kalian dapat mengabulkan permintaanku. Apapun yang terjadi, ingatlah aku sebagai Nindy yang sehat seperti sebelumnya. Lupakan gambaran diriku yang seperti ini. Dan hiduplah dengan bahagia tanpa bayang-bayangku."
Sehari sebelum hari ulang tahunnya, tubuh Nindy sempat kejang-kejang sebelum akhirnya ia dinyatakan koma. Sayangnya, pukul satu dini hari, tepat di hari ulang tahunnya, Nindy menghembuskan nafas terakhirnya. Ternyata ia tidak cukup kuat untuk melawan kanker ganas yang telah ia derita sejak kecil. Semua anggota keluarga Nindy sangat terpukul atas kejadian tersebut. Begitu juga Ray.
Sepeninggalan Nindy, Ray lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar. Tapi, tidak seperti orang-orang sedih pada umumnya, Ray akan memakan banyak sekali makanan ringan yang kemudian akan membuat berat badannya meningkat drastis. Butuh waktu sekitar enam bulan bagi Ray untuk akhirnya benar-benar melepas dan menerima kepergian Nindy. Selama itu jugalah, Ray seakan-akan hidup di dunianya sendiri. Ia tidak berusaha mencari teman baru dan tidak menanggapi orang-orang yang ingin berteman dengannya. Baginya, sahabatnya hanyalah Nindy dan tidak dapat digantikan oleh siapapun. Selamanya. Begitulah kira-kira apa yang Ray pikirkan saat itu, sebelum akhirnya ia bertemu Rachel dan Hanna.
Tiba-tiba, terdengar suara Leah dari ponsel Ryan.
"Halo, Ray? Ray? Lo baik-baik aja? Eh, maksud gue, aduh pastinya lo gak baik-baik aja, kan? Bodoh banget gue,"
"G-gue.." Ray ragu untuk bercerita. Ia tidak tahu dari mana ia harus memulai ceritanya. Ia juga terlalu takut untuk membuka diri lagi dan bercerita tentang masalahnya, bahkan kepada anak sebaik dan sepolos Leah.
"Gak papa kalo lo belum siap untuk cerita, Ray. Gue kurang lebih tau kok tentang keadaan lo sekarang. Walaupun gue denger banyak versi dari orang-orang, satu hal yang pasti adalah lo lagi butuh support, kan?"
"Leah, lo mau tau?"
"Ya, kalo lo pengin cerita, gue pasti bakalan denger, kok,"
"G-gue, takut, gue gak berani ke sekolah, gue gak bisa bayangin gimana anak-anak akan mandang gue setelah ini, dan apa aja yang udah nyebar, bagaimana cerita yang mereka sebarin, gue gak tau, Leah. Gue takut sama semuanya, rasanya gue pengin banget menghilang aja dan orang-orang lupa tentang Ray Utomo,"
"Hmm, Ray besok gue samperin ke rumah lo, boleh?"
"Okay."
Sambungan telepon itu pun terputus. Ray pun segera mengembalikan ponsel Ryan. Setelah mengembalikan ponsel adiknya, Ray berjalan menuju kamar mandi dan menyikat giginya.
******
YOU ARE READING
APRIL
ChickLitHi, this is my first ever story on Wattpad, hope u guys enjoy it! This story was inspired by real events and i put a little touch of my imagination on it so u guys could enjoy the story better. Also, as I said earlier this is my first story, so i kn...