Insane

5 0 0
                                    

Ray terus berpikir tentang apa yang mendorongnya berbuat sejauh ini. Tiba-tiba saja, ia merasa ini bukan ide yang baik. Memberikan hadiah kepada Ben, yang jika dilihat tidak pernah dekat dengannya, untuk ulang tahunnya. Ia berpikir bahwa Ben dan teman-temannya pasti akan menganggapnya gila, karena bahkan untuk mengetahui tanggal ulang tahun Ben saja sudah akan membuatnya terlihat seperti stalker.

Pikirannya terus menyuruhnya untuk berhenti berjalan, tapi ia sendiri juga tidak tahu mengapa kakinya terus melangkah mengikuti sahabat-sahabatnya yang sedang mencari keberadaan Ben dan kawan-kawan. Tadinya mereka berlima memang sengaja memberi jeda waktu untuk permisi dengan Bu Mirna agar tidak terlalu ketara. Tidak mereka sangka, ternyata mencari jejak Ben dan teman-temannya akan sesulit mencari jarum di tumpukan jerami.

"Guys, gak usah dilanjutin lagi, deh, ya?" kata Ray yang terlihat agak pucat dengan sedikit peluh di dahinya,

"No way, Ray. Kita bantuin lo sejauh ini bukan untuk lihat lo menyerah sebelum memulai apapun. Kita akan tetap nyari mereka sampe ketemu," kata Jessy yang tidak menghiraukan kekhawatiran Ray.

"Ketemu," kata Hanna,

"Gak, guys,"

"Lo pilih – samperin Ben sendiri, atau kita yang buat dia samperin lo kesini?"

Bertahun-tahun, seorang Ray Utomo, hanya dapat memendam perasaannya saat ia sadar ia menyukai laki-laki di sekolahnya ataupun di tempat kursusnya. Meskipun ia pernah menyatakan perasaannya secara tidak langsung kepada beberapa laki-laki yang pernah ia sukai, ia tidak pernah melakukan ini. Ini kali pertamanya, dan mungkin akan menjadi kali terakhirnya melakukan hal seperti ini. Kepalanya kosong, keringat terus membanjiri tubuhnya, tangannya yang memegang kado itu semakin dingin, juga wajahnya semakin memucat.

Tiba-tiba, ia merasa ada yang memegang bahunya, sontak itu membuatnya kaget.

"Go ahead, Ray. You can do it," kata Rachel menyemangati. Ray pun teralihkan sejenak. Ia menatap sahabat-sahabatnya secara bergantian. Mereka semua ikut mengangguk, pertanda mereka juga meyakinkan Ray. Merasa sangat didukung, ia pun tersenyum kepada mereka.

Sedikit demi sedikit, rasa gugup nya berkurang dan digantikan oleh harapan. Kakinya yang terus melangkah dari tadi telah membuatnya kini hanya berjarak dua langkah dari Ben dan teman-temannya yang ternyata sedang merokok di gudang sekolah. Merasa diperhatikan, mereka pun mulai menoleh pada Ray.

"E-Eh, Ray, sedang apa ke sini?" tanya salah seorang teman Ben yang bernama Ricky. Ray hanya menoleh sekilas, tidak menjawab pertanyaannya. Ia telah sampai sejauh ini, mustahil baginya untuk mundur. Apalagi setelah Ben dan teman-temannya mulai memperhatikan hadiah yang dipegang Ray.

"Wah, hadiah apaan, tuh? Buat gue, ya? Aduh, sini, sini, gak usah repot-repot, Ray. Ya gak, cuy? Hahahaha," kata Yohan, teman Ben yang juga akrab dengan Ray. Teman-teman Ben tertawa mendengar perkataan Yohan, tapi tidak dengan Ben. Wajah Ben tidak mengeluarkan ekspresi apapun yang membuat Ray semakin salah tingkah.

Setelah mengumpulkan segenap keberaniannya, akhirnya Ray pun membuka mulutnya. "Ben, ini kado buat lo. Happy birthday ya, wish you all the best," kata Ray sambil menyerahkan kado itu ke Ben.

Ben terlihat agak kaget dengan tingkah Ray, sehingga ia pun menatap kado tersebut sejenak dan tidak langsung mengambilnya. Teman-teman Ben yang menyadari hal itu pun refleks mengambil kado tersebut dari Ray. Merasa tidak dapat berlama-lama lagi di sana, ia pun dengan segera membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah meninggalkan mereka. Namun, saat ia baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia mendengar Ben berkata, "Lo sinting, ya. Gak ada yang ultah hari ini."

*******

APRILWhere stories live. Discover now