Kau bagaikan udara yang
Tak akan pernah dapat ku genggam. Tidak! Kau dapat ku raih bahkan jika aku ingin memilikimu sekarang. Namun, waktunya saja yang belum tepat.***
Azan subuh berkumandang, aku bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Ada perasaan aneh mengganjal saat menyadari bukan 'dia' yang mengumandangkan. Dibilang sedih ... rasanya untuk apa bersedih hanya karena itu. Kecewa ... apa hubungannya. Lucu sekali aku ini. Hampa ... Tidak mungkin, yang seharusnya timbul perasaan ini ketika diri telah jauh dari Allah.
Semenjak perasaan ini semakin larut dalam harapan yang semu, disitulah Allah mulai membantuku menjaga hati dengan cara 'dia' yang tak pernah lagi memperdengarkan suara dalam menyeru panggilan-Nya di masjid sana. Tempat dimana para muslim mengistirahatkan pikiran dan hati dari segala harapan mereka tentang dunia. Bukan sebaliknya, menjadi titik temu sebuah harapan yang akan menjadi angan belaka.
***
Ku rasakan bulir-bulir keringat yang jatuh dari kening membasahi khimar navy yang ku kenakan karena teriknya paparan sinar matahari. Aku membeli bahan untuk dimasak ketika pedagang sayur keliling lewat di sekitaran kompleks.
Ku serahkan dua lembar uang sepuluh ribu dan satu lembar uang lima ribu setelah belanjaan ku terima. Kemudian melangkah pulang ke rumah yang berjarak dekat dari sini.
Ketika jarak hanya beberapa meter, terlihat Ayah dan seorang lelaki berdiri di ambang pintu. Mereka tampak sedang berbincang.
Ku beri kode pada Ayah untuk menggeser posisi mereka agar aku dapat masuk ke dalam tanpa permisi. Aku sedang malas bersuara apalagi sedang ada lelaki asing di sini.
Berselang dua menit sesampainya di dapur, dapat ku dengar seruan Ayah yang meminta untuk segera dibuatkan minum. Aku bingung memikirkan air apa yang akan ku suguhkan. Namun, pada akhirnya ku putuskan membuat kopi saja untuk mereka.
Ayah dan lelaki itu telah duduk di sofa ruang tamu. Baru ku sadari, ternyata lelaki itu adalah orang yang mengantarkan Iqbal pulang. Dia juga yang menelepon Ayah sehingga Ayah pulang karena mengetahui kondisi Iqbal yang sedang sakit dan akan diantarkan ke rumah.
Setelah meletakkan nampan berisi dua cangkir kopi di atas meja. Aku segera melangkah ke kamar.
***Ketiduran selama tiga jam! Alarm salat ashar telah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Bagus, Hilya. Kau meninggalkan sepuluh menit waktu salatmu. Bergegas aku menuju kamar mandi untuk segera berwudhu.
Mimpi itu lagi.
Sudah dua kali berturut-turut aku memimpikan 'dia.' Mimpi yang sama hanya ku ingat disaat aku baru terbangun dari tidurku. Setelah itu lupa dengan sendirinya. Yang ku ingat hanya 'dia' yang selalu memanggil ketika aku sedang menyiram bunga.
Apa karena aku terlalu memikirkannya hingga terbawa ke alam mimpi? Ya, tentu saja. Miris sekali, bukan. Dimana para muslim di luar sana sangat berharap dan ingin memimpikan Rasulullah. Aku di sini malah memimpikan lelaki yang bukan mahramku.
"Ya Allah, bantu lah Hilya dalam menjaga hati. Hilya enggak mau mengingat dia terus-terusan."
Sebulir air mata jatuh dari pelupuk. Tak cukup rasanya untuk ku pendam sendiri. Tidak akan bisa membuatku lupa. Aku takut dengan mimpi itu, dia hanya memberi angan-angan belaka. Aku akan berusaha untuk tidak menghiraukan perasaan ini lagi. Biarlah semua jalan hidupku Allah yang atur.
***
"Hilya, kemari sebentar, nak."
Ku letakkan bunga buatan itu ke atas meja yang ada di dekat pintu masuk ketika Ayah memanggil. Aku melangkah ke arah Ayah di sofa yang sedang membaca-entahlah buku apa aku tidak memperhatikan judulnya.
"Iya, kenapa, Yah?," tanyaku setelah mendudukkan diri di samping Ayah.
"Jadi begini, sebelum Ayah ngomong, didengerin dulu sampai selesai, ya," ujar Ayah tersenyum simpul.
Aku mengangguk.
"Ayah berniat menjodo-."
"Jodoh? Enggak enggak. Enggak mau ah, Yah. Hilya masih SMA, enggak mau nikah dulu," potongku cepat, menatap Ayah dengan kening berkerut cemas.
Ayah menarik napas seraya memejamkan mata singkat.
"Hilya ... memotong pembicaraan orang tua itu enggak sopan," wajah Ayah datar menatapku yang diam mengatupkan bibir.
"Terus apa dong, Yah?," kini sifat keingintahuanku muncul ke permukaan.
"Ayah berniat menjodohkan kamu ... karena nanti kamu bakal tinggal sendiri di sini. Ayah akan khawatir sama kamu, ibadah jadi enggak tenang," jelas Ayah.
"Lebih baik kamu tinggal bersama mahram mu. Itulah kenapa Ayah ingin menjodohkan kamu," Ayah menghela napas.
"Tapi, maksud Ayah bukan untuk sekarang. InsyaAllah setelah semuanya beres dan sekolahmu juga sudah selesai," lanjut Ayah dengan senyum menatap ke arahku.
"Em ... tapikan, Yah, Hilya tamatnya masih lama," aku memikirkan hal yang mungkin akan terjadi dua tahun ke depan. Apakah aku benar-benar dijodohkan setelah tamat SMA atau menikah setelah mendapat gelar hasil pendidikan tinggiku dan memiliki keluarga yang bahagia.
Aku tersenyum geli memikirkan kedua analogi itu. Kalau menikah setelah SMA, apa boleh buat. Semua sudah takdir Allah. Walau aku masih enggan untuk hal yang satu itu. Kalaupun analogi kedua yang akan ku dapatkan ya ... apa yang harus ku lakukan? Sudah sewajarnya begitu, bukan? Mungkin itulah yang ku inginkan.
"Hilya Mafaza Azizi...,"
Aku terlonjak ketika Ayah mengibaskan tangannya di depan wajahku. Ayah mengucap istighfar.
"Ayah bicara dari tadi, kamu malah diam begitu," Ayah memijit pelipisnya. Aku hanya menyengir, apalagi yang harus ku katakan. Sungguh tidak lucu jika aku mengatakan penyebab bengong-nya diriku.
"Dua tahun ... Ayah rasa bukan waktu yang terlalu lama," ucap Ayah menatap plafon rumah. Kemudian tatapannya dialihkan ke arahku.
"Manusia cuma bisa berencana, Hilya. Segalanya Allah-lah yang menentukan. Serahkan semua pada Allah," jeda, "Kamu enggak usah pikirkan ini. Belajar dulu yang giat" sambung Ayah sebelum beranjak dari sofa.
Aku bergeming dan menatap ke arah posisi Ayah yang kini telah kosong seraya mencerna tiap kata yang Ayah lontarkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Kamu Pemilik Suara [SELESAI]
Spiritual[PUBLISH ULANG - FREE FOR READ] Hilya Mafaza Azizi, gadis manis yang mengagumi seseorang tanpa tahu wujud dan rupa orang tersebut. Semuanya bermula saat Hilya mendengar suara merdu nan lembut tiap waktu salat tiba. Ya, Hilya menyukai si Muazin itu h...