Allah suka bukan terhadap hamba-Nya yang saling mencintai, Namun tidak saling mengetahui satu sama lain.
--•0•--
Sore ini aku diajak oleh Anna berkeliling taman yang ada di sekitar kompleks perumahan. Kami berdua tinggal di kompleks yang sama. Hanya berselang dua rumah antara rumahku dan rumahnya.
"Bosan tau di rumah terus," kata Anna ketika kami sudah duduk di rerumputan yang ada di taman.
Banyak bangku disini. Tetapi aku dan Anna lebih memilih lesehan seperi ini. Lebih nyaman karena terasa empuk.
"Lagi nyiramin bunga malah diajakin ke taman si Anna," balasku meliriknya sekilas.
"Bagus dong. Kali aja ketemu jodoh," Anna menyenggol lenganku jenaka. Kemudian tertawa.
"Hiii jodoh mulu yang dipikirin," Aku memberi jeda dan meluruskan pandangan.
"Anna ... Jodoh itu sudah ada yang atur. Udah ditulis kok sama Allah jodohnya kamu, aku dan dia," disaat yang bersamaan, pikiranku langsung melayang pada seseorang yang sangat ku kagumi suaranya. Ya suara, aku tak tahu orangnya hingga tanpa sadar nada bicaraku turun satu oktaf, aku berucap pelan saat kata terakhir karena terbawa perasaan. Seutas senyum pun terbit dari wajahku yang tertutupi kain.
Kali ini izinkan aku berharap untuk itu. Terdengar aneh memang, seorang gadis bisa dengan mudahnya mengagumi seseorang tanpa pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya.
Aku betul-betul ... berdosa rasanya jika ku jelaskan bagaimana perasaanku terhadap 'Pemuda Masjid' itu. Aku bersungguh-sungguh ingin dia menjadi jodohku. Tapi ... apakah mungkin? Terkadang, aku lucu sendiri terhadap pemikiranku yang satu ini.
"Hilya! Kok malah bengong!," sergah Anna membuyarkan lamunanku.
Ku tolehkan pandangan ke arahnya dan memberi senyuman lebar. Anna sedang dalam mode memajukan bibir. Dia melirik ku dengan ekor mata.
"Sebenarnya tadi tu kamu dengar enggak sih apa yang aku omongin?," ucap Anna berganti dengan raut sendu.
Aku tersenyum diiringi dengan kekehan sebagai respons.
"Beli minum, yuk. Panas," ku alihkan pembicaraan diakhiri tawaku yang garing. Kami beranjak membeli air.
•••
Ku rebahkan tubuh di atas springbad yang ada didalam kamark. Cuaca hari ini terasa sangat panas. Aku mengalihkan pandangan melihat jam yang tertempel di dinding kamar. Lima belas menit lagi menuju salat magrib.
Aku beranjak dari ranjang berniat mandi. Ketika kakiku ingin melangkah, pintu kamar diketuk. Lantas ku buka pintu terlebih dahulu. Iqbal berdiri dengan senyumnya yang lebar. Entah kenapa anak ini terlihat berbeda, padahal dia sedang sakit. Apa ini salah satu cara supaya dia diberikan izin pergi les besok?.
"Ada apa?," tanyaku, menaikkan kedua alis.
"Kak, pinjem pensil dong," pantas saja dia nyengir gitu, ada maunya. Aku menggelengkan kepala memikirkan bagaimana dia sekolah jika pensil saja tidak punya. Huh, dasar bocah.
"Tunggu bentar, ya," Aku menghampiri meja belajar, tempat tasku berada.
"Ini," ku serahkan pensil pada Iqbal. Namun, tiba-tiba memori kepalaku teringat akan sesuatu.
"Bal, Bal," Aku menyeru ketika melihat Iqbal yang hendak melangkah.
Iqbal menoleh dan menaikkan kepalanya, isyarat bertanya.
"Em ... Iqbal tahu enggak orang yang azan di masjid itu. Yang ... suaranya bagus itu. Iqbal tahu?," tanyaku dengan hati-hati. Khawatir Iqbal curiga.
"Yang mana? Orang yang azan di masjid banyak, kak," tanggap Iqbal, menautkan alis pertanda dia sedang mengingat sesuatu.
"Yang Iqbal bilang anak ustad itu, lho. Ingat? Pas waktu itu kakak tanya, Iqbal bilangnya gitu," sungguh! Tidak habis pikir dengan ingatanku kali ini. Bagaimana bisa aku seingat ini bahkan pada hal yang terasa tidak penting. Ironisnya, pada tugas sekolah aku sering lupa.
Mendengar itu, wajah Iqbal langsung berubah longgar. Dia sepertinya mengingat kembali kata-katanya.
"Oh, iya. Dia memang anak ustad! Orangnya tinggi," Iqbal berucap enteng.
"Ganteng," sambungnya yang membuatku spontan menaikkan alis dengan tampang cengo. Sungguh, padahal aku tidak bertanya hal itu. Tetapi, tak apalah. Terimakasih, wahai adik. Kamu betul-betul membuat kekaguman ini bertambah.
Segera ku tutup pintu kamar setelah sadar bahwa Iqbal sudah berlalu dari hadapan.
Tak ingin bertele-tele lagi, segera ku langkahkan kaki ke kamar mandi dan memulai ritual mandiku.
•••
Allahu Akbar
Allahu Akbar....Aku mencoba untuk menjaga hati. Berusaha untuk tidak berlebihan mendengar suaranya. Bukan dengan kalimat-Nya. Aku mencintai kalimat itu. Tetapi, aku takut melenceng dalam mengagumi.
Aku yang sudah memakai mukena dan telah menduduki sajadah mencoba untuk fokus dalam zikir. Menghiraukan hati yang semakin lama semakin hanyut ke dalam perasaan semu.
Aku marah pada diriku sendiri. Tak tahu bagaimana menjelaskan perasaan kecewa yang menghinggapiku saat ini. Marah karena dengan mudahnya hatiku bisa berlabuh pada seseorang. Dan kecewa karena merasa gagal menjaga. Bukan di waktu yang tepat bagiku untuk merasakan ini.
Aku tahu perasaan ini adalah fitrah yang telah Allah berikan kepada tiap-tiap hamba-Nya. Tetapi, yang ku takutkan ialah salah dalam menjaga fitrah-Nya.
Satu sisi aku bahagia karena dengan beginilah caraku mengagumi. Biarlah dulu ku akui hanya sebatas mengagumi. Sisi lain, aku merasa tersiksa karena seharusnya aku tidak mengagumi bahkan sampai berharap dialah jodohku.
Dan, ini lah yang kusebut sebagai little thing but crazy.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Kamu Pemilik Suara [SELESAI]
Spiritual[PUBLISH ULANG - FREE FOR READ] Hilya Mafaza Azizi, gadis manis yang mengagumi seseorang tanpa tahu wujud dan rupa orang tersebut. Semuanya bermula saat Hilya mendengar suara merdu nan lembut tiap waktu salat tiba. Ya, Hilya menyukai si Muazin itu h...