-12-

1.2K 68 26
                                    

'Rindu.
Bukan alasan untuk
Berkomunikasi apalagi bertemu.'

***

Tak tau kenapa hari ini terasa berbeda dari hari biasanya saat akan pergi ke sekolah. Hilya merasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan dalam perutnya. Aneh.

Tak hentinya dia mengulum senyum. Terhitung satu menit sekali senyum itu merekah dari bibir tipisnya yang tertutup. Untung tertutup, jika tidak, dapat dipastikan orang yang berada di rumah akan heran melihat tingkahnya pagi ini.

Terutama Khaliq. Bisa dijadikan bahan guyonan olehnya.

Mungkinkah karena Hilya telah mengetahui siapa pemuda masjid yang ia kagumi?.

Terlebih satu sekolah dengannya bahkan satu kelas!.

Hilya meredam kegembiraannya dengan mengucap istighfar sebanyak mungkin yang ia mampu.

'Jangan berlebihan, Hilya!.'

Tetapi, satu hal mengusik pikirannya mengingat perempuan yang pernah dia lihat duduk disatu motor yang sama dengan Rakha. Entah itu mahramnya atau bukan, sampai detik ini ia tak tau.

Hilya berharap semoga dugaan-dugaan negatifnya terhadap Rakha ... salah.

Ketika akan bangkit dari kursi tempatnya memakai sepatu, Hilya kedatangan tamu yang sama.

'Pasti mau jemput Iqbal, lah.'

"Bal," Hilya menengok ke dalam rumah setelah berdiri, "jemputan dah nunggu ni."

Tak berapa lama Iqbal muncul dari dalam rumah dengan tangan yang dipenuhi oleh kotak makan dan botol air ber-merk yang sangat familier.

Ketika Hilya hendak akan mengambil kedua benda tersebut dan ingin memasukkan kedalam ransel sang Adik, baritone suara orang dibelakang menghentikan gerakannya.

"Bal, yuk berangkat. Bekalnya biar Bang Azam simpan dijok aja."

Iqbal menyalami Hilya dan menghampiri Azam. Lelaki itupun merangkul Iqbal menuju motor yang ia parkir di luar pagar.

***

"Hari ini kamu ngajarkan, Zam?," tanya lelaki paruh baya, setelah meminum teh hangat yang asapnya masih mengepul itu.

"Iya, Yah. Hari ini jadwal Azam ngajar. Di kampus pun Azam lagi enggak ada kelas pagi," jelas Azam seraya memasukkan spidol kedalam ransel hitamnya.

"Azam pergi duluan ya. Assalamu'alaikum."

Azam bangkit dari sofa ruang tamu yang ada dalam rumahnya setelah menyalami sang Ayah yang sedang fokus dengan laptop didepan. Tak heran jika seorang kepala Madrasah Ibtidaiyah sibuk berkutat dengan benda persegi itu.

Menjadi guru merupakan tugas sekaligus media bagi Azam meraih ganjaran dari Allah, juga mendapat rezeki dari-Nya melalui pekerjaan sampingan itu.

Membantu meringankan kedua orang tua terutama Ayah dalam membiayai pendidikannya dan mengajarkan ilmu yang ia punya kepada murid-muridnya.

Teruntuk Kamu Pemilik Suara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang