Kepahitan paling besar adalah
Berharap kepada manusia. Kata-kata Khalifah Ali ini yang selalu ku jadikan motivasi disaat diri berharap lebih pada manusia. Tapi kenyataannya, tetap saja aku masih menaruh harap padanya.***
Hilya mendudukkan diri ke atas sofa sesampainya ia di rumah. Retinanya menangkap Iqbal yang sedang menonton televisi dengan jarak dekat. Lantas, Hilya berjalan menuju sang Adik.
"Belakang lagi ...," Hilya berbisik di telinga Iqbal membuat anak itu menoleh ke arahnya.
"...Nonton enggak boleh deket-deket." Hilya ikut menonton tayangan yang ada di depannya. Dimana seekor tikus dan kucing sedang menampilkan aksi kejar-kejaran.
"Kak," panggil Iqbal.
"Hm?."
"Iqbal mau minta maaf, ni."
Hilya mengerutkan kening mendengar penuturan Iqbal.
"Minta maaf buat apa?," tanyanya.
Kini fokus anak itu teralihkan oleh sang Kakak. Iqbal bertingkah seolah memendam sesuatu yang membuatnya sangat merasa bersalah. Raut wajahnya ditekuk.
"Kakak pasti masih ingat pas Iqbal digendong sama Pak Azam waktu itu, 'kan?," Iqbal mengangkat pandangannya menatap Hilya.
"Ha?," kini kerutan di kening Hilya semakin bertambah, "kamu sadar pas itu?," imbuhnya.
Iqbal mengangguk pelan.
"Maaf ya, Kak. Iqbal enggak ada maksud bohong sebenarnya ... Tapi, itu karena Iqbal lagi capek aja Kak, nggak sanggup lagi jalan. Terpaksa Iqbal pura-pura pingsan biar mau digendong."
Pernyataan Iqbal membuat Hilya antara ingin tertawa dan marah. Hilya ingin tertawa karena melihat kepolosan sang Adik dalam bercerita sementara marah karena sebab itulah dia harus berduaan dengan lelaki yang bukan mahram di dalam rumah walau tak berbuat apa-apa.
"Kata Kakak kan kita enggak boleh bebanin orang. Nanti Allah bakal bebanin kita juga. Makanya Iqbal minta maaf udah buat Kakak khawatir," Iqbal kembali menekuk wajah.
"Maafin Iqbal, ya, Kak," imbuhnya.
Hilya menghela napas singkat.
"Besok-besok jangan diulangi," Hilya mengacak gemas rambut Iqbal.
Anak itu hanya mengangguk dan kembali fokus pada tayangan di depan.
***
"Ayah, emm ... belakangan ini Hilya lihat dia kok sering kali ya datang ke rumah?."
Selaku bagian dari tuan rumah, Hilya juga ingin tahu apa maksud kedatangan lelaki yang sama ia lihat datang ke rumahnya. Ayah meneguk secangkir teh yang Hilya buatkan tadi ketika tamu yang sama kembali berkunjung.
"Dia itu anak Ustad Muzakkir yang tinggal di ujung kompleks depan sana," jawab Ayah, matanya terfokus pada kertas-kertas berisi tulisan yang ada di atas meja.
Hilya mengangguk dan ber-oh.
"Terus itu apa, Yah?," Hilya mengangkat dagu pada kertas tersebut, isyarat bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntuk Kamu Pemilik Suara [SELESAI]
Spiritual[PUBLISH ULANG - FREE FOR READ] Hilya Mafaza Azizi, gadis manis yang mengagumi seseorang tanpa tahu wujud dan rupa orang tersebut. Semuanya bermula saat Hilya mendengar suara merdu nan lembut tiap waktu salat tiba. Ya, Hilya menyukai si Muazin itu h...