-26-

932 66 12
                                    

'Cukup sampai disini penantianku.
Sekarang aku percaya tentang
Kamu yang seperti angin.
Mustahil untuk kugenggam. Kamu,
Memang tidak tertulis untukku.'
-Hilya Mafaza Azizi-

--•0•--

Disinilah dia berada. Duduk dibelakang dua insan yang sebentar lagi akan bersatu dalam ikatan yang sering disebut pernikahan. Selama kegiatan itu berlangsung, selama itu pula ia menahan gejolak yang membuncah dalam dada untuk tidak menumpahkan air bening yang nyaris mengalir.

Samar didengarnya ucap lantang ijab qabul dari bibir lelaki yang telah membawa sekeping hatinya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Aqlima Razanna...."

Tak lama setelah itu kata 'sah' pun terucap, disambut dengan lafadz hamdallah dari para tamu yang hadir.

Tak kuasa membendung air mata, Hilya menunduk dalam guna menghindari tatapan orang disekitar yang bisa saja melirik ke arahnya.

Sementara Anna, gadis berpashmina putih itu menoleh ke arah belakang. Terlihat dari posisi duduknya saat ini, Hilya tengah menunduk. Tak bisa dipastikan ekspresi  sahabatnya itu. Walau, Hilya sendiri pernah mengatakan padanya bahwa Hilya tidak ada perasaan apapun terhadap lelaki yang kini telah menjadi teman hidupnya. Tetap saja, rasa was-was melingkupi sebagian hati kecil Anna.

Anna takut, apa yang Hilya katakan waktu itu adalah upaya gadis itu agar pernikahannya dengan Rakha berjalan lancar. Sedangkan perasaan Hilya terhadap lelaki disamping masih berbekas. Ia takut hal itu ada pada Hilya. Ia takut menyakiti Hilya. Disini, puncak permasalahan berasal dari dirinya.

Kalau saja waktu itu ia sedikit berani untuk mengatakan yang sebenarnya, mungkin pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Namun, ketakutan yang sedang melanda membuatnya menjadi buta akan keadilan. Ia menyeret pihak yang tidak bersalah menanggung segala ketakutannya demi menghalau  kemungkinan buruk yang bisa saja menimpa kedua orang tuanya jika ia tidak menikah. Terutama sang Ayah, itu adalah hal yang paling ia takutkan. Bayang-bayang Ayahnya ketika menampar dirinya. Seperti yang pernah ia alami semasa kecilnya.

"Anna."

Lamunannya buyar. Sebuah telapak tangan melambai didepan wajah. Ia menoleh ke arah sang Ibu yang duduk disisi kanan. Wanita itu mengisyaratkan sesuatu ke arah Rakha. Ditolehkannya kepala melihat subjek yang ditunjuk.

Lelaki itu mengulurkan telapak tangannya. Anna menerima uluran dan mencium telapaknya. Ada jeda setelah kejadian itu selesai. Rakha tampak enggan mendongakkan kepala guna mencium kening Anna. Ralat, sang istri. Namun, tetap saja hal itu terjadi.

Hilya melihat itu, walau dengan raut pias. Ia sengaja melihatnya guna melatih hati agar tidak mudah rapuh. Berharap dapat sedikit lebih kuat untuk masa mendatang ketika melihat pasangan muda itu. Namun, nihil. Air mata pun seakan telah mengering. Hilya tidak menangis! Ia tidak boleh cengeng untuk yang satu ini. Semua sudah menjadi rencana Allah jauh sebelum dirinya lahir ke dunia. Dipaksanya untuk tersenyum. Ya, karena hanya senyuman yang mampu ia ukir untuk kedua insan yang telah bersatu dalam takdir.

Hanya saja, sebagian hati kecilnya tetap merasakan sakit. Usah dijelaskan lagi.

***

"Berapa bulan?," suara baritone.

Anna tertegun mendengar pertanyaan yang Rakha ajukan. Ia berhenti dari kegiatannya yang sedang memasak. Ini merupakan hari kedua bagi dirinya melepas masa lajang. Yakni baru dua hari pula ia berstatus sebagai seorang istri. Sekaligus, kali ketiga bagi dirinya mendengar Rakha bertanya. Dan ini adalah pertanyaan yang paling menyeramkan. Karena ia tak ingin ditanyakan, melainkan butuh ajuan pembuktian dari pertanyaan itu sendiri.

"Aku enggak ha-."

"Apa?! Jadi selama ini...."

"....Ikut aku, kita ke rumah orang tua kamu."

Pungkasan itu sontak membuat mata Anna membulat sempurna. Gagang centong pengaduk nasi goreng terlepas dari genggaman hingga menimbulkan bunyi nyaring akibat bersentuhan dengan wajan putih berbahan alumunium itu.

"Ngapain?," tanyanya menghadap Rakha yang duduk dimeja makan, "aku enggak mau ke rumah. Aku maunya ke rumah sakit!."

Kini Rakha lah yang terdiam. Dengan pandangan lurus menatap Anna tak percaya. Bagaimana bisa Anna berkata setenang itu? Sedangkan, sudah jelas ada kehidupan seseorang didalam perutnya.

"Maksud?," tanya Rakha, menatap gadis didepan dengan mata menyipit penuh selidik.

"Aku enggak hamil!," ungkap Anna penuh penekanan.

Alis tajam Rakha tertaut. Tatapannya yang penuh kecurigaan kini memancarkan sorot kebingungan yang kentara.

"Nanti aku jelasin semua," terang Anna. Mengembalikan fokus Rakha padanya. Lelaki itu kembali ternganga seolah berkata 'hah?'. Namun, dengan cepat dinetralkannya ekspresi wajah menjadi setenang mungkin.

"Ayo ke rumah sakit. Kita buktiin itu," ajak Anna.

Gadis itu berbalik hendak mematikan kompor dan seketika itu juga pekikan nyaring terdengar ditelinga Rakha.

"Kenapa?," tanyanya.

"Nasinya gosong," Anna tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang rapi hingga matanya ikut menyipit.

Terdengar dengusan dari Rakha. Lelaki itu menggeleng dan beranjak pergi dari area dapur yang telah berbau harum itu.

***

"Mungkin Ibu dan Bapak belum rezeki."

Ucapan dokter tadi sore terngiang dalam ingatan. Anna sama sekali tidak sedang mengandung. Gadis itu pun masih utuh seorang gadis. Itu artinya ... Anna tidak berhubungan apapun. Hanya saja, yang tidak mengenakkan adalah ketika ia mengatakan bahwa dirinya sempat disentuh hingga membuatnya histeris waktu itu.

Dan kini, Rakha kembali terdiam. Mendengar cerita yang keluar dari mulut Anna. Awal mula semua ini terjadi. Hingga segala alasan yang membuat gadis itu bertindak sejauh yang tak pernah dibayangkan. Menyeret pihak yang sama sekali tidak ada kaitan dengan masalah hidupnya.

"Kenapa kamu takut sama Ayah?," Rakha membuka suara setelah selesai mendengarkan.

Keduanya duduk di pinggir ranjang yang merupakan kamar lelaki itu.

"Ayah temperamen. Ayahku enggak sesabar Ibu, dia mukul kalau aku buat kesalahan. Apalagi kalau Ayah tau tentang ini. Tentang aku yang hampir di ... pasti Ayah enggak bakal nerima dan akan pukulin aku. Sedangkan hal ini udah heboh-heboh di komplek, jangan sampai Ayah tau. Makanya aku diam aja waktu Ibu minta kamu nikahin aku. Sebenarnya aku juga nggak mau nikah sama kamu, Rakha. Maaf," ungkap Anna menatap Rakha diakhir kalimatnya.

Lelaki itu mengangguk-angguk tanpa menatap gadis disamping. Setelah itu ia berjalan menuju pintu. Menciptakan pertanyaan di benak Anna. Namun, diurungkan keinginannya untuk bertanya.

"Tidur aja disini. Aku bisa tidur di kamar samping," kata Rakha, seolah tahu isi pikiran Anna.



"Aku memang cinta dia. Hatiku masih nyimpan namanya. Tapi aku enggak suka Anna, kamu menyebut perempuan lain saat sedang bersamaku. Apalagi dia orang yang sangat sulit untuk aku lupain. Tolong, bantu aku. Jangan bahas dia. Cukup aku yang kadang khilaf mikirin dia."

***

To Be Continued....

Author's note:
Mulmed; Rakha & Anna.

Teruntuk Kamu Pemilik Suara [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang