10
KimiaAda saatnya dimana kamu benci sama pelajaran yang kamu suka. Aneh? Ya. Tapi memang ada beberapa hal yang bisa membuat itu terjadi, entah karena tugasnya yang banyak seperti banyaknya aku makan coklat setiap hari, gurunya yang terus mengarahkan pertanyaan sulit pada kita, atau ulangannya yang untuk dapat nilai 70 itu susah.
Tapi, kali ini berbeda. Aku benci bukan karena semua alasan di atas.
Hari ini. Jam pelajaran terakhir. Aku benci kimia, salah satu pelajaran favoritku setelah matematika. Kenapa? Karena aku harus satu kelompok dengan Keira. Aku tidak membenci Keira, tapi sebaliknya. Ia terus menerus memberikanku tatapan mematikan. Mungkin kalau aku membalas tatapannya, aku bisa pingsan atau skenario terburuk 'mati' ditempat karena laser yang dipancarkan dari kedua matanya itu.
Dia sangat membenciku sejak 'insiden' di GOR basket. Kamu tau? Insiden 'minuman & pegang tangan'. Betapa idiotnya aku, sampai lupa kalau Keira ada di sana. Berdiri di sisi lapangan. Bodoh.
Vio terus mencoba melirik ke arahku setiap ia punya kesempatan untuk memastikan aku baik-baik saja. Aku akan baik-baik saja selama aku terus fokus dengan pipet di tanganku.
Dua puluh menit terakhir, aku berusaha menghindari Keira sebisa mungkin. Aku menyibukkan diri dengan cairan kimia yang harus dianalisis, data yang perlu dicatat dan mencuci tabung yang sudah dipakai.
Kalian bertanya apa yang dilakukan Keira? Menatapku. Well, sekali-kali dia menulis —masih sambil menatapku.
Usahaku gagal di menit ke-52, ketika Keira memutuskan untuk menyentuh tabung reaksi yang panas dengan jarinya. Kata kunci, menyentuh. Coba tebak siapa yang sedang memegang tabung itu dengan penjepit? Aku. Yeay.
"Aw!" Rintih Keira sengaja meninggikan suaranya sambil memegang jarinya. Membuat semua siswa di laboratorium menoleh ke arah meja kami.
Bagus sekali. Ia mengambil waktu yang sangat tepat. Bu Nia, guru Kimia kami baru saja keluar laboratorium untuk mengambil buku laporan kami minggu lalu.
"Kenapa Kei?!" Teman dekat Keira, Lisa segera menghampirinya.
"Rhea ngasih gue tabung reaksi itu, tapi nggak bilang kalau itu panas." Jawabnya mengeluh.
"Aku nggak ngasih dan kamu harusnya tau kalau ini panas, karena aku pake penjepit." Ucapku kesal sebelum menaruh tabung reaksi itu di tempatnya. Wow, Rhea. Aku tidak biasanya se-berani ini, tapi ketika berhadapan dengan Keira, itu berubah menjadi sebuah keharusan. Kalian mengerti maksudku? Kenapa? Aku juga tidak tau. Mungkin karena seseorang? Mungkin.
"Jangan bohong, Rhea." Kata Keira sambil mengelap jarinya dengan tisu basah dari Lisa.
Saat itu, Vio sudah berdiri di sampingku.
"Eh, lo tuh udah nggak kerja apa-apa, terus nyalahin Rhea. Mau lo apa sih? Yang ada juga lo yang salah disini!" Bentak Vio. Go Vio!
I love my best friend.Keira berniat mendorong Vio, tapi aku berhasil berdiri di depan Vio sebelum itu terjadi. Alhasil, aku yang jatuh. Ouch.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Bu Nia masuk melihat semua kekacauan ini. What a great timing. Semua siswa yang sebelumnya menjadikan ini sebagai sebuah atraksi, langsung kembali bekerja dengan praktikumnya masing-masing.
"Ada apa ini?!" Tanya Bu Nia.
"Rhea Bu, dia-"
"Diam kamu Keira. Jelas kalau Rhea yang jatuh dan kamu... baik-baik aja. Ikut saya ke ruang guru habis ini." Tegas Bu Nia pada Keira. Rhea : 1, Keira : 0. Senang rasanya ada yang membelamu selain Vio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas At Last
Romance"Karena kamu sempurna dan aku tau kalo kamu berhak dapet seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Tapi Rhe, aku egois." Jelas lelaki itu. "Maksud kamu?" Tanya perempuan yang sedang duduk di hadapannya. "Aku ini egois karena aku nggak mau kamu pergi...