14 | T u t o r

380 117 0
                                    

14
Tutor

Sama seperti hari lainnya, hari ini berjalan seperti biasa, tidak ada yang spesial. Olahraga harus menjadi jam pelajaran pertama, dimana aku dengan memalukannya menjadi satu-satunya siswi yang tidak bisa melakukan lompat tinggi di level paling pertama, yaitu 75 cm. Memalukan. Sekarang kalian tau seberapa buruknya aku dalam olahraga. Dan yang membuatku lebih malu, Atlas melihatku.

Pelajaran berikutnya matematika. Dengan kemurahan hatinya Bu Susan memberikan kita pekerjaan rumah dua lembar, bukan dua halaman. Tolong lihat sarkasme-nya.

Berikutnya, Seni Budaya. Favoritku. Hari ini kita bermain dengan tanah liat dan aku berhasil membuat sebuah vas dan cangkir. Yeay. Aku sempat melirik ke arah Atlas dan tertawa kecil melihatnya dengan raut wajah yang mengatakan 'aku sangat membenci melakukan hal ini'. Setidaknya aku lebih unggul di bidang ini.

Pelajaran terakhir, Fisika. Aku benci pelajaran ini. Tapi, untuk mendapat nilai yang memuaskan hati dan pikiranku, aku tidak punya pilihan lain selain mempelajarinya. Great.

"Untuk Atlas dan Rhea saya minta ikut ke ruangan saya sekarang." Sahut Pak Anton selaku guru Fisika.

Aku dan Atlas bertukar pandang sesaat dan secepatnya merapikan barang-barang kami dan merangkul tas masing-masing.

"Duluan ya Vi." Kataku pada Vio yang sedang memasukkan sisirnya ke dalam tas. Iya, Vio selalu membawa sisir dan make-up. Vio bilang untuk touch up sehabis makan.

"Oke. Jangan lupa bantuin aku ngerjain PR nanti malem. Sampe ketemu besok!" Sahut Vio.

Dengan itu, aku berjalan cepat ke luar kelas diikuti oleh Atlas. Kita berjalan berdampingan menuju ruang guru.

"Kamu tau kenapa kita dipanggil?" Tanyaku pada Atlas saat kita sudah hampir sampai di ruang guru.

"Hm... mungkin?" Jawabnya yang lebih seperti pertanyaan dan aku rasa ia menyembunyikan sesuatu.

Sesampainya di pintu, Atlas membukakan pintu untukku, kemudian masuk setelahnya.

Kita langsung menuju meja Pak Anton yang terletak di belakang kanan ruangan. Selama menuju ke sana, aku dan Atlas menyapa beberapa guru yang kami kenal.

"Oke. Jadi gini, Bapak mau kamu, Rhea jadi tutor buat Atlas sampe UAS." Jelasnya serius setelah melihat kami.

"Tutor?" Aku melirik Atlas yang tersenyum malu.

"Iya, kamu ajarin dia karena sebentar lagi mau UAS. Kamu tau nilai UTS dia berapa kan?" Tanya Pak Anton ditujukkan padaku.

Aku berusaha mengingat nilai UTS Atlas, tapi tidak ada hasil. Aku bukan termasuk orang yang suka membanding-bandingkan nilaiku dengan orang lain. Aku tidak suka itu.

"57." Kata Pak Anton menjawab pertanyaannya sendiri. 57? Oke. Aku tau Atlas memang tidak se-pintar itu dalam hal pelajaran, tapi sepengetahuanku, dia setidaknya selalu lulus KKM*. Ini artinya, dia benci Fisika sama sepertiku atau memang dia tidak bisa.

"Saya bisa belajar sendiri." Kata Atlas tegas.

"Kamu yakin bisa? Kalau nilai kamu gini lagi, jabatan kamu sebagai ketua basket bisa dicopot." Jelas Pak Anton yang membuatku ternganga mendengarnya.

Apa? Se-berpengaruh itukah? Aku sama sekali tidak tau hal ini.

"Baik, Pak." Tanpa berpikir panjang aku menerima usulan itu. Aku tidak bisa membiarkan Atlas turun dari posisinya. Ia sangat mencintai basket, juga timnya. Lagipula, aku tidak yakin tanpa Atlas tim basket kami bisa sampai sejauh ini.

"Makasih, Rhea. Udah itu saja. Sekarang kalian boleh pulang." Ujar Pak Anton, lalu kembali ke dokumen yang sedang ia kerjakan.

Atlas pun segera beranjak keluar dari ruang guru dengan cepat meninggalkanku.

Saat aku membuka pintu ke luar, aku melihat Atlas bersandar pada tembok. Apa dia menungguku? Aku pun perlahan menghampirinya.

"Hey." Sapaku berdiri di hadapannya.

"Rhe, kalo kamu nggak mau jadi tutorku, nggak apa-apa. Aku tau kami sibuk sama lomba lu-"

"Aku nggak apa-apa Atlas. Ini keputusan aku sendiri, nggak ada yang maksa. Anggep aja ini terima kasih dari waktu kamu bawa aku ke studio lukis Mamamu." Aku memotong perkataannya.

Aku tau ada lomba lukis yang masih harus aku pikirkan. Tapi saat ini, fokusku hanya pada cowok di depanku ini. Aku akan membantunya bagaimanapun juga dan lagipula, aku sudah tau apa yang ingin aku lukis untuk lomba.

"Serius?" Tanyanya dengan nada tidak percaya sambil tersenyum.

"Serius."

"Makasih Rhe! Jadi, kapan kita mulai, Bu Rhea?" Tanyanya bercanda membuatku tertawa.

"Kamu bisa besok?" Mengingat aku tidak punya kegiatan apapun sepulang sekolah.

"Besok aku pulang sekolah ada latihan basket sampe jam 5. Gimana?" Tanyanya.

"Oke. Aku tunggu. Boleh kan aku liat tim basket latihan?"

"Karena aku kaptennya, jadi boleh." Jawabnya menyeringai.

"Siap, kapten."

Kita berdua pun tertawa.

"Jadi, rumahku atau rumahmu?" Tanya Atlas.

"Aku bisa dimana aja."

Tentu saja aku lebih memilih rumah Atlas, karena rumahku akan terasa sangat sepi dengan tidak adanya orang di rumah. Sedangkan di rumah Atlas, ada Andre dan juga Mbak Santi. Dan aku tidak akan melewatkan kue buatan Mbak Santi untuk apapun.

"Rumahku kalo gitu." Kata Atlas memutuskan.

"Oke."

Aku menahan diriku untuk tidak melompat girang dan berteriak saat itu juga. Ini artinya, aku punya lebih banyak waktu bersama Atlas.

Go Rhea!

*) Kriteria Ketuntasan Minimal

Atlas At LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang