13
Kencan? (2)Selama perjalanan aku sadar bahwa semakin lama pemandangan gedung, toko, dan juga restoran di pinggir jalan berubah menjadi pohon-pohon tinggi dan lebat. Aku sempat bertanya sekali lagi kemana tujuan kita, tapi Atlas hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Aku berusaha mencari tanda-tanda yang bisa kubaca untuk mengetahui dimana kita, tapi hasilnya nihil.
Beberapa menit kemudian, Atlas membelokkan mobilnya ke kiri dan aku disuguhkan dengan sebuah gerbang berwarna hitam. Aku melirik Atlas yang sedang berbicara pada interkom di dinding. Tiba-tiba, gerbang itu terbuka dan ada sekitar 100 meter sebelum sebuah rumah putih terlihat jelas di mataku.
Atlas memarkir mobilnya di depan pintu masuk rumah dua tingkat tersebut.
"Kita ada dimana?" Tanyaku mengamati bangunan yang terlihat mewah, tapi minimalis di hadapanku setelah keluar dari mobil.
"Studio." Jawab Atlas sambil mengunci mobil.
"Studio?"
Apa? Rumah sebesar ini untuk studio? Terkadang aku lupa seberapa kayanya keluarga cowok satu ini.
"Yup. Studio lukis punya Mamaku."
"Mama kamu suka melukis?" Tanyaku tidak percaya dengan apa yang aku baru saja dengar.
"Percaya atau nggak, itu hobinya dari kecil." Atlas mengeluarkan sebuah kunci dari kantong celananya.
"Aku nggak percaya. Mamamu?" Pertanyaanku dibalas dengan tawa kecil oleh Atlas.
"Liat sendiri kalo gitu. Ayo masuk." Atlas menuntunku ke pintu masuk, lalu membukanya.
Melangkahkan kakiku ke dalam, hal pertama yang kulihat adalah sebuah kanvas kosong terletak di atas penyangga di tengah ruangan. Kemudian, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan putih itu dan melihat banyak lukisan terpatri di dinding. Mulai dari lukisan bunga, orang, juga sebuah gunung yang ditutupi salju. Lukisan-lukisan ini mengingatkanku akan lukisan yang ada di rumah Atlas. Dari cara pelukis ini menggoreskan kuasnya, juga pilihan warnanya, aku bisa menyimpulkan bahwa mereka adalah orang yang sama.
"Jadi, yang di rumah kamu itu hasil karya Mamamu?" Tanyaku mencoba mengetes tebakanku.
"Betul."
Yes.
Atlas kemudian berjalan lebih jauh ke belakang rumah. Ia berhenti di sebuah pintu kaca yang memberikan pemandangan sebuah taman dan danau yang sangat indah. Danau tersebut terlihat bersinar terkena sinar matahari pagi.
"Danau?" Tanyaku kagum. Aku belum pernah melihat Danau sejernih dan sedekat ini.
"Mamaku suka ketenangan kalo lagi melukis, makanya dia bangun studio ini disini." Jawabnya santai lalu membuka pintu kaca itu membiarkan lebih banyak oksigen memenuhi ruangan.
Angin lembut menerpa dan membelai rambutku. Sejenak aku menutup mata untuk merasakan dan menikmatinya. Aku diam selama kurang lebih lima detik.
Saat aku kembali membuka mata, Atlas telah menghadap padaku dan matanya melihat langsung ke mataku. Kita berdua hanya berdiri, tanpa pembicaraan, dan terus melihat satu sama lain.
Apa yang dia pikirkan?
"Mm.. apa?" Tanyaku setelah memutuskan kontak mata kami. Aku bisa meraskan pipiku memanas.
"Mm... kalo kamu mau, kamu bisa ngelukis di deket danau dan kamu juga boleh pake kanvas itu." Jelasnya sambil menunjuk kanvas kosong di belakangku.
"Mama kamu nggak akan pake itu?" Tanyaku tergoda untuk melukis langsung di kanvas dibandingkan di sketch book milikku. Artinya, aku bisa langsung bereksperimen dengan warna dibandingkan dengan pensil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas At Last
Romance"Karena kamu sempurna dan aku tau kalo kamu berhak dapet seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Tapi Rhe, aku egois." Jelas lelaki itu. "Maksud kamu?" Tanya perempuan yang sedang duduk di hadapannya. "Aku ini egois karena aku nggak mau kamu pergi...