05. Two Women In Hurt

206 24 14
                                    

May 2006 - Gwangju, South Korea.

Suatu sore di akhir musim semi itu begitu manis untuk sepasang remaja yang melangkah beriringan di sebuah taman bermain. Baru satu minggu keduanya menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Maka tak heran jika keduanya terlihat masih bersikap kaku, bahkan tangan keduanya tak bertautan.

Sang pemuda yang berusia enam belas tahun itu terlalu sibuk dengan pikirannya dan larut dalam rasa canggung. Sementara sang gadis yang dua tahun lebih muda darinya justru asyik memperhatikan berbagai wahana menakjubkan yang dilihatnya. Sesekali decak kagum lolos dari bibirnya dengan mata yang berbinar.

“Kiyeona! Kau tidak mau mengajakku naik roller coaster itu?” Sang gadis menunjuk sebuah wahana dengan jari telunjuknya. Sedikit gemas sebenarnya pada lelaki di sampingnya yang begitu pemalu.

Satu catatan lagi. Gadis bernama Lee Luda itu mempunyai penyakit ‘minim sopan santun’. Jadi jangan terkejut mengetahui gadis itu memanggil kekasihnya yang jelas lebih tua darinya tanpa panggilan ‘kakak’ atau semacamnya. Lagi pula Kihyun tidak mempermasalahkannya. Gadis ini memang unik.

“Eoh? Kau ingin menaikinya?” Sang gadis mengangguk. “Kau yakin tidak takut?”

“Takut tidak ada dalam kamusku, Kiy. Tenang saja! Atau mungkin kau sendiri yang merasa takut, eh?”

Kihyun sedikit menundukkan tubuhnya lalu tersenyum santai di depan wajah gadisnya. “Tidak. Kalau begitu, ayo! Roller coaster yang itu adalah wahana favoritku. Pastikan jantungmu tidak lepas dari tempatnya, Lee! Jangan menyesalnya jika nanti kau sampai mual lalu muntah.”

“Huh! Tidak akan.”

Sedikit menyebalkan sebenarnya ucapan Kihyun dengan raut mengejek itu. Tapi sang gadis harus jujur, jantungnya bahkan sudah berdebar sebelum menaiki wahana yang menantang adrenalin tersebut.

Barusan itu adalah kalimat terpanjang yang pernah ia dengar dari bibir Kihyun si pendiam. Dan tatapan yang tajam namun lembut dari mata pemuda itu membuat waktu seakan berhenti. Membiarkannya menatap sosok yang kini tengah tersenyum padanya.

Tangan pemuda Yoo itu meraih tangannya. Menariknya menuju wahana tujuan mereka dengan ceria. Ini juga kali pertama Kihyun melakukannya tanpa keraguan. Tempo hari, lelaki itu masih begitu ragu dan gemetar saat bergandengan tangan sepulang sekolah.

“Lee! Bagaimana kalau kita buat kesepakatan sebelum naik? Yang paling sering menjerit nanti, dialah yang kalah. Dan yang kalah itu harus diberi hukuman.”

Sang gadis memicingkan matanya, berusaha menimbang-nimbang. “Umm, baiklah. Jika kau kalah, kau harus menggendongku saat pulang sekolah sampai ke depan rumahku selama tiga hari berturut-turut. Bagaimana?”

Kihyun tersenyum miring. “Siap! Lagi pula tubuhmu kecil. Tapi kalau kau yang kalah, kau harus memakai daster ibumu untuk dating kita selanjutnya. Bukankah terdengar adil?”

“Apa?!! T-tapi aku, mana mungkin—aaishh.., baiklah!”

“Deal!”

Gadis bersurai perak yang tengah mengendarai mobil putihnya itu tersenyum begitu saja mengingat kenangan tiga belas tahun silam. Ia masih ingat betul pakaian yang dikenakannya dan pemuda itu saat ke Gwangju Family Land. Ia memakai sebuah overall celana pendek dengan kaos putih di dalamnya. Sementara lelaki itu memakai hoodie hijau dengan jam tangan merah yang melingkar manis di pergelangan tangannya.

Magical Sunset :Yoo KihyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang