Bab 7 (Pulang)

11 5 0
                                    

Ruangan putih. Bersih. Tidak ada rak-rak berisi buku. Menghela napas. Bau ini adalah bau yang Minggu lalu Awan cium. Bau rumah sakit. Sial, sepertinya Awan pingsan setelah mimisan semalam. Kejadian yang sama yang terjadi beberapa hari yang lalu. Bedanya hari ini Awan terbangun bukan dirumahnya. Tapi siapa kira-kira yang membawa Awan ke sini. Apakah keadaan separah itu?

Memencet bel, beberapa menit kemudian suster datang.

Suster tersebut memanggil dokter. Setelah datang dokter, Awan diperiksa terlebih dahulu keadaannya.

"Maaf, dok, saya dibawa ke sini oleh siapa?"

"Pasien dibawa oleh laki-laki bernama Fawaz Parveen. Dia sekarang sedang keluar, dia bilang mau berganti pakaian sebentar."

Awan mengangguk. Apakah Fawaz sendirian mengantarkannya ke sini. Sedangkan bisa Awan lihat Fawaz sepertinya semalam tiba-tiba pucat ketika melihat keadaan Awan. Awan masih lemas, dia tidak berdaya sepertinya keadaan semakin parah. Dia sudah menduga ini akan terjadi.

Setelah dokter memeriksa, Dokter seperti tersenyum getir. Awan bisa melihat. Setelah menasihati Awan untuk lebih hati-hati, dokter tersebut keluar. Kemudian beberapa detik kemudian pintu kembali terbuka dan sudah menampilkan sosok berbeda. Fawaz datang, sendirian, memakai kaos dan celana biasa, tidak formal seperti semalam.

"Selamat pagi. Sudah siuman?"

Awan mengangguk. Dia masih lemas untuk merespon. Awan hendak bangkit dari tidurnya. Dia tidak enak kepada Fawaz.

"Tidur aja enggak pa-pa." Kata Fawaz melarang.

Awan memalingkan mukanya. Awan tahu pasti Fawaz sudah tahu semuanya dari dokter.

"Aku enggak perlu kamu kasihani." Ujar Awan memalingkan mukanya. Dia tidak mau Fawaz berada di sini karena sebatas kasihan padanya. Awan benci dikasihani.

Fawaz terbelalak. "Aku enggak pernah lakuin hal tersebut."

"Tatapan kamu membuktikannya!" Jawab Awan datar. "Siapa aja yang tahu tentang ini, yang tahu aku masuk ke sini?"

"Hanya aku." Jawab Fawaz jujur.

Memang semalam ketika Awan pingsan, Fawaz tidak sempat memberitahu siapapun termasuk Yura dan keluarganya. Dia panik, dan langsung membawa Awan ke rumah sakit terdekat.

"Kamu enggak berbohong?"

"Enggak sedikit pun."

Awan akhirnya bisa lega. Dia tidak mau ada orang lain lagi yang mengetahui apa yang sedang ia derita. Cukup Kakak perempuannya dan Fawaz yang tahu.

"Kamu perlu kemoterapi, Angka." Ujar Fawaz menunduk. "Aku tau aku orang baru, tapi untuk kebaikanmu aku menyarankan kamu agar ikut kemo." Sambung Fawaz tidak berani menatap Awan.

"Panggil aku Awan, jangan Angka, kamu sudah dua kali memanggilku begitu." Jawab Awan, dia ingat persis semalam juga Fawaz bukan memanggilnya Awan tapi Angka.

"Maaf, aku lupa. Bukannya nama kamu menang Angkasa?"

"Ya. Awan Angkasa Gildart." Jawab Awan.

"Aku lebih suka Angka, aku suka matematika." Ujar Fawaz.

Awan berpikir sedikit. Lalu hubungannya apa dengannya kalau Fawaz suka matematika, batinnya. Namun Fawaz hanya mengangguk. Dia memperbolehkan Fawaz memanggilnya Angka.

"Sudah bilang orang tua?" Tanya Fawaz.

Awan menggeleng. Dia memang sengaja tidak memberi tahu orang tuanya, entah apa yang akan terjadi jika Awan memberi tahu hal tersebut.

"Kamu gila? Ini bukan penyakit biasa, Angka. Ini Leukemia, ini kanker darah, ini bahaya!" Fawaz terlihat frustasi dibandingkan Awan yang duduk tenang sambil memakan makanan yang baru saja diantar oleh perawat.

"Apa bedanya. Aku ikut atau enggak itu sama aja, akhirnya aku bakal mati." Ujar Awan putus asa.

Sejujurnya dia beberapa pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya ketika dokter memvonis dia mempunyai penyakit. Dia ingin sehat. Tapi Awan masih punya akal sehat, dia manusia bukan hewan yang tidak diberi akal.

"Kalo kamu berusaha aku yakin takdir bisa berubah." Kata Fawaz meyakinkan.

"Ya, aku tau, aku yakin aku lebih pintar darimu kalo menyangkut kesehatan. Aku calon dokter, aku enggak mau mati kalo belum kesampaian." Kata Awan.

Fawaz sedikit menghela napas, "Jadi kamu mau ikut kemoterapi?"

Awan menggeleng. "Aku enggak bilang begitu. Aku rasa itu akan menyakitkan. Aku enggak mau."

"Hei calon dokter, ini mudah, enggak perlu takut."

Awan menggeleng. Dia sudah memutuskan dari dulu dia tidak ingin mengikuti kemo. Kakak perempuannya juga sudah membujuk mati-matian, namun nyatanya nihil. Awan tetaplah Awan, manusia keras kepala yang tidak bisa diubah keputusannya.

"Aku cuma ingin hidup normal." Kata Awan akhirnya.

Fawaz menghela napas kembali. "Jika itu keputusanmu aku menghargai."

Ruangan hening. Tidak ada percakapan. Mereka berdua sibuk dalam pikiran masing-masing, sampai suara handphone terdengar.

Tepatnya handphone milik Fawaz. Ada pesan masuk dari Yura. Menanyakan keberadaan Fawaz.

"Angka," panggil Fawaz.

"Ya."

"Aku pulang ke rumah Yura sebentar enggak apa-apa sendirian?" Tanya Fawaz.

"Kamu kira aku anak kecil yang harus selalu dijaga, sana pulang keluargamu pasti merasa aneh karena kamu terus menghilang." Jawab Awan.

Ruangan lenggang. Hanya ada Awan sendiri. Apakah ini waktunya untuk Awan memberi tahu semua pada keluarganya. Penyakitnya ini sudah terlalu parah. Dia tidak bisa begini saja di sini. Di negeri orang sendiri. Memang pada waktu sekarang ini ada Fawaz. Tapi siapa Fawaz? Dia hanya seseorang yang sekedar lewat dikehidupannya. Dia juga akan kembali pastinya ke Indonesia. Awan mengambil handphonenya yang berada diatas nakas disebelah tempat tidurnya, dia harus menghubungi keluarganya supaya dia dijemput. Namun apa? Mereka semua tidak mengangkat telpon Awan, semua mengabaikannya. Awan mendesah. Dari kecil memang ayah dan ibunya adalah orang yang sibuk. Mereka berdua bekerja sebagai dokter. Mereka banyak menghabiskan waktu dirumah sakit dari pada dirumah sebenarnya. Dan beberapa tahun yang lalu sang ayah mendirikan rumah sakit sendiri, itu membuat ayah dan ibunya jarang ada dirumah. Awan menyimpan kembali handphonenya, namun dia ingat seseorang yang pasti selalu menunggunya. Ryani, dia pasti akan senang jika mendengar kabar akan pulang, apalagi dari mulut Awan sendiri. Awan mengambil kembali, dia lalu menghubungi Ryani. Ini pertama kalinya Awan menguhubungi Ryani bukan memaki Email. Dia memakai panggilan WhatsApp.

"Ya, hallo? Maaf dengan siapa?"

"Ry, aku Awan. Aku akan pulang."

💭💭💭

Hi. Happy reading 🖤
Akhirnya bang Toyib pulang juga

My First And LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang