bab 8 (Secercah harapan)

16 6 0
                                    

Titik-titik air hujan mulai mewarnai sore dikala itu, membasahi jalanan yang ramai. Membuat beberapa orang menepi menjadikan jalan lenggang untuk sementara, menyisakan dua remaja yang sedang berlari sambil berlindung dibawah satu jaket. Bisik-bisik orang disekitar tidak mereka hiraukan yang mereka tahu hanyalah kapan mereka sampai kerumah untuk mengistirahatkan raga sejenak. Lama kelamaan hujan semakin deras membuat dua remaja tersebut kewalahan karena kedinginan.

"Ry, kita menepi dulu ya sebentar,"

"Aku mau langsung pulang. Ini semua gara-gara kamu enggak bawa kendaraan jadilah kita harus pulang jalan kaki sepanjang tiga kilometer."

Gadis yang dipanggil Ryani itupun mengerucutkan bibirnya.

"Kan aku sudah kasih usulan agar kita pulang naik angkot saja."

"Tapi kan kamu tahu aku enggak suka naik angkot, Awan."Ryani berujar kesal.

Awan pun mengalah, "Iya, iya aku tahu. Tapi boleh kan kalo kita menepi sebentar diwarung itu? Hujannya deras sekali nanti kamu sakit."

Ryani tidak menggubris perkataan Awan sedikitpun, lalu Awan menghentikan langkahnya. "Ryani nanti aku sakit, memang kamu mau tanggung jawab?"

Perkataan Awan membuat Ryani sontak menghentikan langkahnya, lalu berbalik untuk melihat Awan yang berhenti lebih dulu dan keluar dari jaket yang melindungi mereka dari titik-titik air hujan.

"Sebentar lagi sampai Awan, kamu kok kalah oleh perempuan sepertiku?"

Awan berdecak, "Sebentar lagi? Memang jarak 2 kilo bisa kamu tempuh dalam waktu lima menit? Jalanmu itu lambat tahu? Aku sampai susah untuk mensejajarkan langkah supaya aku bisa bersisian denganmu."

"Kamu yang jalannya terlalu cepat, karena kakimu panjang. Siapa juga yang minta disejajarkan langkahnya?"

Awan lagi-lagi mengalah, dia tidak menimpali Ryani berbicara. Dengan paksa Awan menarik tangan Ryani untuk menepi ke warung yang berada di pinggir jalan tersebut.

"Sudah kubilang, aku hanya ingin pulang, aku tidak mau menepi, lagi pula bajuku sudah basah kuyup semua."

Ryani mencoba melepaskan cengkraman tangan Awan dipenggelangan tangannya. Namun gagal dan akhirnya Ryani hanya diam mengikuti langkah Awan dari belakang.

"Ini," Awan menyodorkan teh hangat yang baru saja ia pesan dari warung tempat mereka berteduh sekarang.
Ryani menerimanya lalu ia putar-putar ditangannya untuk menghangatkan tangannya yang dingin.

"Aku kan sudah bilang dari Awal kita menepi saja."

"Iya, maaf."

Awan memperhatikan Ryani, rambutnya lepek lalu wajahnya terlihat pucat. "Bibirmu sampai biru begitu."

"Salah siapa tidak bawa kendaraan." Jawab Ryani singkat lalu menyerudut minumannya.

"Ryani, kan aku_"

"Iya, iya, aku tahu karena kamu sudah bilang ini hari terakhir kita sekolah sebelum melaksanakan pelulusan besok, jadi kita hari ini jalan kaki saja supaya kita tahu bagaimana perasaan orang yang enggak punya kendaraan yang setiap hari berjalan kaki untuk sekolah, begitukan katamu?" Ryani memotong perkataan Awan lalu berujar kesal.

Awan mengangguk, "Ry, besok setelah pelulusan aku mau langsung pergi, boleh enggak?"

"Pergi kemana?" Tanya Ryani penasaran. "Boleh-boleh saja, sih. Memang aku siapa? Sampai-sampai tidak memperbolehkanmu pergi?"

"Sahabatku?"

Ryani tertawa, "Apalah artinya sahabat, Awan? Sahabat itu ya cuma sahabat, mereka enggak bisa mengatur kehidupan sahabatnya sendiri, mereka itu bukan siapa-siapa, mereka itu orang yang kebetulan mengisi dan menghiasi hari-harimu atas dasar solidaritas. Mereka tidak memiliki hak untuk memiliki seutuhnya."

My First And LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang