Chapter 3

2.8K 164 0
                                    

Rabu itu, kami berangkat setelah sarapan. Ayahku menyetir sendiri dari Seoul ke Daegu. Kampung halaman ayahku. Ayahku tumbuh di kota ini, masa kecilnya sangat sederhana, jauh dari kemewahan yang aku dan kakakku rasakan. Tapi dari situlah sifat rendah hati ayahku muncul. Nenekku adalah ibu rumah tangga biasa yang mendidik ayahku dengan baik, kakekku adalah pekerja keras seperti ayahku, yang kini sedang menikmati masa tuanya. Karena telah berhasil membersarkan ayahku menjadi produser musik yang sukses. Aku sungguh beruntung hidup di keluarga ini.

Ayahku bertemu dengan mamaku ketika ia sedang dirawat di Rumah Sakit Seoul. Dan mereka memulai segalanya sebagai dokter dan pasien. Mengenal satu sama lain. Lalu akhirnya menikah dan memilikiku. Dan Kak Jinyoung 3 tahun setelah aku lahir.

Suasanya pinggiran kota memang selalu menenangkan. Udaranya sejuk, banyak pepohonan, dan jalanan yang bebas macet.

Rumah nenekku sangat sederhana tetapi kami selalu nyaman menginap disana, lengkap dengan pekarangan luas tempat nenekku menanam bunga-bunga. Mama selalu membawa kakak kesini untuk menenangkan pikirannya. Kakak selalu bisa kembali normal ketika berlibur kesini.

"Jinyoung ayo bangun, sudah hampir sampai nak"

Kakakku tertidur menghadap ke jendela dengan tangan di dagu. Poninya menutupi dahi. Rambut hitamnya tergerai indah. Aku bisa melihat kedamaian dari cara ia tidur. Ia membuka matanya perlahan. Pantulan sinar matahari pagi memperlihatkan mata coklatnya. Indah. Bagi siapapun yang melihatnya.

"Hana, tolong bawakan tas oleh oleh mama ya"

Kata mamaku sesaat setelah turun dari mobil. Kakakku masih nyaman di kursi belakang dengan boneka gajahnya.

"Duh berat banget sih tas mama"

Aku bersusah payah mengangkat tas oleh oleh mamaku. Tetapi sepatuku terantuk batu sesaat setelah aku melewati pagar. Lantas ada tangan kuat berhasil menangkapku. Perasaan ini, tangan ini, tatapan matanya coklatnya. Aku kembali menegakkan badanku. Mematung dan bersiap pergi. Lari dari situasi mendadak ini.

"Hati-hati, nona manis"
"Terimakasih, aku seb-aiknya mma-suk duluan"

Sungguh hatiku tak karuan. Hatiku berdebar. Wajahku pasti memerah. Pipiku sepanas api. Aku setengah berlari melewati mamaku yang heran melihat tingkahku.

"Hana hati-hati dong, nanti jatuh barangnya"

Tapi mamaku malah disambut oleh senyuman manis seorang pemuda tampan. Square smile yang memanah siapapun ketika melihatnya.

"Mohon maaf, permisi, saya datang karena Ny. Min membutuhkan saya di kebun bunganya"
"Saya Ny. Min" masih terpana sampai tersadar.
"Ah ya ampun. Pasti Ny. Min yang kau maksud ibu mertuaku ya"

(Dasar ibu dan anak sama saja. Haha)

"Sayang, Jinyoung mana kok nggak keliatan dia belum turun?" suara ayahku membuyarkan segalanya, dan langsung mengenali pemuda itu.
"Kau pasti, Taehyung"
"Benar"
"Dia anak sahabat masa kecilku Kim Jaehwan, sayang, aku tidak percaya Jaehwan bisa punya anak setampan ini", Ayahku menjelaskan.
Ayahku dan candaannya, maafkan dia ya.

"Taehyung, bisa bantu Hana menurunkan barang kami dulu nggak? Ibuku pasti bisa menunggu", tanya Ayahku.
"Oh tentu"
"Hana, cepat kemari barangnya masih banyak yang belum diturunin"

Aku datang dan memaksa diriku setenang mungkin. Jangan biarkan perasaan senangmu menguasaimu Hana.
Aku segera menuju mobil dan Taehyung mengikuti di belakangku. Ia berusaha menyamai langkah kakiku.

"Jadi kita belum kenalan, nona manis"
"Permisi, aku punya nama", membalikkan badan dan menatapnya berusaha melawan debaran tak karuan di dadaku.
"Kim Taehyung", ia menyodorkan tangannya.
"Min Hana", tangan kami bertautan.

Taehyung berjalan mendekat ke bagasi mobil range rover ayahku dan mendapati kakakku sedang duduk disana.
"Kak, ayo masuk. Mama sama Ayah udah di dalam tuh"
Bukan fokus padaku. Kakakku malah fokus dengan Taehyung di sampingku.
"Si-a-pa kam-mu?"
Tatapan Taehyung langsung berbeda. Bukan tatapan aneh, tetapi tatapan hangat seolah tahu kondisi kakakku.
"Aku teman adikmu..." Ia berhenti dan menatapku seolah menunggu respon.
"Jinyoung, kakakku Min Jinyoung"
"Jinyoung-ssi", sapanya dengan senyuman itu, lagi.

Kakakku tidak memberikan respon apa-apa. Ia malah beranjak dan pergi meninggalkan kami.
"Maaf, kakakku memang begitu dengan orang baru"
"Tidak apa-apa aku mengerti"
"Jadi mana yang harus kubantu"

Diam. Dari kejauhan Jinyoung melihat mereka mulai akrab satu sama lain. Ia merasakan dadanya memanas. Sesak. Ia ingin memaki dirinya. Memukul dirinya. Tetapi ia tahu ini bukan salahnya. Bukan ia penyebab ia merasa sangat marah. Tetapi laki-laki yang sedang bicara dengan adiknya.

"Jinyoung, yuk makan siang"
"Jin-young ma-u nu-nggu Ha-na"
"Hana masih bantuin mama, nanti Hana gabung saya kita kok, Sayang", kata Ayahku.

Jinyoung menurut.






My Step BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang