Izin selama empat hari karena kaki terkilir, membuatku super sibuk mengejar pelajaran yang tertinggal. Papa nggak izinkan aku main, kecuali pergi untuk mengerjakan tugas. Bunda semakin sering mengawasiku dan tentu aku nggak banyak waktu untuk menyalurkan hobi nge-dance-ku. Kennard ... hanya Kennard yang konsisten gangguin aku.
Setelah keluar kelas, aku membuka ponsel dan membaca pesan dari Bunda. Katanya, aku harus cepat pulang karena Bunda masak kesukaanku. Bunda juga menyuruhku memberitahu Kennard agar dia nggak keluyuran karena sebentar lagi ujian semester. Aku segera men-foward pesan Bunda kepada Kennard dan berjalan ke gerbang sekolah karena Pak Arif sudah menunggu.
Pak Arif disuruh Bunda ke rumah teman Bunda dulu mengambil sesuatu. Jadi, kami pulang melewati jalan yang berbeda dengan biasanya. Saat mobil melewati pertokoan yang lama belum dihuni, Pak Arif memelankan laju mobil.
"Ada apa, Pak?"
"Nggak tau, Non. Itu rame-rame di depan." Pak Arif mengawasi dari dalam mobil.
Saat mobil berhenti, mataku jelas menangkap apa yang sedang terjadi. Kennard masih dengan seragam sekolahnya terlibat perkelahian. Teringat amarah Bunda, aku segera melepas sabuk pengaman dan keluar mobil.
"Eh, Non! Mau ke mana?!"
"Itu Kennard!" jawabku tanpa menoleh dan segera berlari ke kumpulan anak-anak berseragam SMA yang sedang baku hantam.
"Kennard!" panggilku. Aku menerobos kerumunan. "Permisi, ya."
Mataku terus mencari sosok Kennard. "Kennard! Disuruh Bunda pulang. Ada nuget ayam, Kennard!"
"Livia!"
Terdengar suara cowok yang memanggilku—tetapi bukan suara Kennard. Aku menoleh ke arah kanan, di antara para siswa yang saling memukul, nggak ada wajah yang kukenal. Tiba-tiba seseorang memeluk dari belakang dan erangannya terdengar di telingaku. Aku memaksa berbalik badan dan melihat Aryan sedang melindungiku sementara punggungnya dihajar seseorang.
"Aryan." Suaraku tercekat. Aku nggak ngerti kenapa cowok itu pukulin Aryan.
"Ngapain lo di sini?" tanya Aryan seraya menahan pukulan dengan punggungnya. Aryan mendorong tubuhku lalu berbalik badan untuk melawan cowok yang memukulinya.
Aku oleng ke belakang dan hampir menjerit ketika menyadari akan terjatuh. Akan tetapi, seseorang menangkap dan memelukku. Wajahku mendongak dan melihat wajah Aufar yang memerah karena terpapar sinar matahari.
Aufar menoleh ke arah lain dan berteriak, "Kennard! Gila lo, ya! Ngapain ngajak Livia?"
Waktu aku memalingkan wajah ke arah Kennard, seseorang memukuli Aufar hingga kami terjatuh dengan posisi aku di bawah tubuh cowok itu. Aku menjerit ketakutan karena dua orang menendang dan menginjak-injak tubuh Aufar yang masih berada di atasku. Salah satunya menarik tubuh Aufar untuk berdiri dan dengan susah payah aku turut berdiri. Dadaku terasa sesak saat Aufar juga dipukuli seperti Aryan. Teriakanku lolos saat tangan seseorang menarik bahuku.
Untungnya Kennard segera datang dan menarik tangan cowok itu. "Beraninya jangan sama cewek!" Kennard memukul wajah cowok itu dan darah segar mengalir dari hidungnya.
"Kennard, awas!" teriakku saat ada yang mengangkat tangan akan memukul Kennard dari belakang.
Kennard sigap berbalik badan, menangkis, dan menghajar cowok itu habis-habisan.
"Kennard, udah! Biarin. Kita pulang aja," ajakku.
Wajah Kennard menatapku dengan ekspresi murka. "Pulang sana."
"Tapi, kata Bunda, kamu disuruh pulang ada nuget ...." Aku justru menjerit karena Kennard dipukul cowok lain lagi. Kennard tak tinggal diam dan mereka kembali berkelahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KENNARD - Living with the Bad Boy
Teen FictionLivia tak menginginkan Kennard--bad boy paling ia hindari--menjadi saudara tirinya. Namun suatu malam, Livia mengalami peristiwa tak terlupakan bersama Kennard hingga mengubah perasaan keduanya. *** Meski tak memiliki seorang ibu, Livia Rinshi tetap...