Feeling Guilty (2)

13.8K 1.8K 68
                                    

Guru wanita itu menyuruhku masuk ruang bimbingan. Di dalam sana, ada Bu Ratih—guru BP—dan siswi yang tadi siang menyuruhku menemui guru bahasa Inggris. Aku segera duduk setelah Bu Ratih memberi kode.

"Livia, Ibu mau tanya. Kamu kenal Kaylo Arfandi? Dia kelas XI IPA."

Aku mengangguk karena yakin bahwa nama Kaylo Arfandi hanya milik satu cowok di kelas XI IPA.

"Dari guru yang mengajar, Ibu dapat laporan kalo Kaylo sakit dan izin ke UKS. Karena kondisinya nggak membaik, pihak sekolah bawa Kaylo ke rumah sakit."

Aku masih diam mendengarkan dengan perasaan cemas tak terbendung.

"Pak Untung yang nganterin Kaylo, tadi ngasih kabar. Kaylo kena alergi makanan," sambung Bu Ratih.

Jadi, dia nggak keracunan? Ada sedikit kelegaan dalam hatiku. Tapi, Kaylo alergi apa, ya? Aku mengingat-ingat bahan makanan untuk membuat sandwich. Apa kejunya jamuran?

"Menurut saksi, Kaylo hari ini hanya makan sandwich buatan kamu."

"Ini buktinya. Kotak makan punya dia," tambah cewek itu sambil melihatku dengan tatapan tak suka.

Aku melihat kotak makanan merah muda dan bergambar Barbie. Kembali aku menatap Bu Ratih. Itu memang punyaku.

"Ini punya kamu?"

Aku mengangguk pelan.

"Jadi benar, kamu yang ngasih sandwich isi udang ke Kaylo?"

Aku sekali mengangguk dan tertegun. Udang?

"Tuh, kan, bener. Dia yang bikin Kaylo sakit perut dan hampir kejang."

"Winda," tegur Bu Ratih. "Kamu nggak berhak menghakimi di sini."

"Udah jelas dia yang ngelakuin, kok," tekan Winda.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebuah ketukan di pintu membuatku membisu. Setelah mengatakan 'permisi' Kennard langsung masuk dan duduk di sebelahku.

"Kennard, kamu nggak boleh seenaknya masuk sebelum Ibu izinkan," tegur Bu Ratih dengan tatapan tajamnya. Ia terlihat nggak suka dengan Kennard.

Kennard melihat arloji di tangannya sekilas. "Jam belajar udah selesai. Ibu juga nggak berhak nahan Livia di sini tanpa izin dari saya."

"Kamu—"

"Orangtua kami lagi di luar negeri. Selama nggak ada mereka, saya jadi wali Livia karena saya kakaknya. Saya nggak izinin Ibu interogasi Livia kayak gini," ujar Kennard.

Aku menoleh ke arah cowok di samping kananku. Kennard terlihat nggak gentar menatap Bu Ratih. Wajahnya songong banget. Ngapain, sih, bilang wali segala? Emang dia udah dewasa?

"Ibu nggak interogasi Livia. Ibu nanya," tegas Bu Ratih.

"Sekarang saya tanya, ada apa ini?"

"Ini nggak ada kaitannya dengan kamu. Tunggu di luar selama Ibu bicara dengan Livia."

Kennard berdecak. "Tadi, kan, saya bilang, saya kakaknya. Saya berhak tau apa yang terjadi sama Livia!"

"Kennard," tegur Bu Ratih karena Kennard menaikkan volume suaranya.

Dia membenarkan letak kacamatanya. "Keluar dulu. Kamu nggak menghormati saya sebagai guru?!"

Kini napas kasar Kennard terdengar. "Ibu nggak jawab pertanyaan saya. Padahal saya yakin Ibu mendengar dengan baik. Apa itu sopan?"

"Oke, kalo nggak mau bilang," Kennard menoleh ke arahku, "ngomong sama gue, lo kenapa?"

"Kennard," panggil Bu Ratih.

KENNARD - Living with the Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang