Matahari pagi nampak sudah kelihatan. Jam beker yang terletak di atas meja nakas milik Kim Hanbin kembali berbunyi.
Sudah pukul 9 lewat 10 menit. Hanbin yang masih setengah sadar meraih jam bekernya untuk mematikan benda tersebut agar tak terus-terusan berbunyi.
Matanya yang masih sedikit terkatup Ia usahakan untuk terbuka. Wajahnya Ia usap secara kasar. Rambutnya yang memang sudah acak-acakan kembali Ia acak lagi.
Pandangannya Ia pencarkan ke seluruh sudut kamarnya. Kasurnya sudah rapi, menandakan bahwa Jennie telah memasuki kamarnya.
Ia mulai keluar dari kamar, melangkahkan kakinya menuruni tangga. Benar saja, gadis mungil itu telah berada di dapur dengan sebuah apron yang biasa Ia pakai untuk memasak.
“Mengapa tidak membangunkanku?”
Suara serak khas bangun tidur milik Kim Hanbin membuat Jennie menoleh sebentar ke arah laki-laki yang baru saja menuruni anak tangga terakhir dengan kondisi masih sedikit mengantuk.
Gadis itu kembali melanjutkan aktifitasnya sembari menjawab pertanyaan Hanbin tadi tanpa menoleh, “Maaf, aku lupa,” tukasnya dengan nada tak seperti biasanya.
Hanbin mulai melangkah mendekati wanita itu, “Lupa? Perdana sekali bagimu selama tiga tahun untuk lupa membangunkanku,”
Jennie terdiam. Tak ingin menjawab pertanyaan pria yang kini telah duduk menikmati bubur dan sup yang belum lama ini Jennie buatkan untuk sarapannya.
Hanbin menyipitkan matanya melihat tingkah aneh gadis itu pagi ini, “Apa yang terjadi padamu?”
Jennie yang masih asyik dengan peralatan masak di atas pantry milik Kim Hanbin itu hanya bergumam pelan, “Tidak ada apa-apa,”
Pria itu mengubah posisi duduknya. Ia masih menikmati bubur yang disajikan Jennie untuknya sembari kembali menanyakan hal lain kepada wanita itu, “Jam berapa kau pulang semalam?”,
Jennie menghela nafas kasar, “kau bisa menanyakan hal itu setelah aku selesai,”
Hanbin kembali menyipitkan pandangannya ke arah wanita itu sambil mengernyitkan dahinya. Pria itu kini mulai berdiri dari posisi duduknya tadi. Ia mulai melangkah mendekati Jennie yang masih melakukan hal-hal berbau mencuci piring, “Apa yang terjadi padamu?,”
Suara berat nan serak itu sedikit membuat Jennie terkaget. Pria itu ternyata sudah berdiri di belakangnya.
Jennie menghela nafas sambil membalikkan badannya menghadap Hanbin. Ia menatap netra pria yang sudah Ia dampingi selama 3 tahun ini, “Apa yang salah denganku? Aku tak apa, Kim Hanbin,” ucapnya sembari tersenyum sumringah sehingga menampakkan rentetan gigi putih dan gummy smile miliknya.
Gadis itu kembali mengoceh setelah membalikkan badannya lagi ke arah basin cuci piring untuk melanjutkan aktivitasnya, “Aku lupa membangunkanmu. Aku tau, kau pasti lelah,”
Hanbin terdiam sebentar menatap gadis yang masih sibuk mencuci piring ini. Entahlah, tapi Ia merasa ada sedikit beban yang dipikul gadis itu saat Ia sedang menampakkan senyum lebarnya tadi.
Namun apa daya. Hanbin tetaplah seorang Hanbin yang tak peduli akan hal tersebut. Bila gadis itu memang mengatakan bahwa Ia baik-baik saja, itu artinya Dia memang baik-baik saja.
Gadis itu kembali melanjutkan bicaranya lagi, “Cepatlah mandi dan bersiap-siap! Editormu kembali menelefon agar kau datang ke kantor penerbit. Banyak teks buku yang harus kau seleksi,”
Hanbin mengangguk.
Pria itu mulai melangkah menjauhi gadis tersebut, “Jangan lupa bekas makannya. Aku tidak dapat menghabiskan buburmu. Terlalu lembek,”
Jennie berbalik sambil tersenyum kecil, “Tak apa. Aku akan coba perbaiki lagi besok agar kau bisa memakannya,”
Hanbin kembali mengangguk menyetujui sambil melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga.
Jennie menatap langkah pria itu. Senyum kecilnya dengan cepat hilang begitu saja ketika jasad Hanbin sudah tak kelihatan lagi.
Matanya kembali berkaca-kaca. Hal itu membuatnya mengomeli diri sendiri, “Ini bukan waktunya menangis, bodoh! Tahan dirimu!”
Jennie mengusap pelupuknya agar airmatanya itu tak jatuh, “Kau gadis kuat!”
Gadis itu menghela nafas. Senyum yang tadi sempat hilang kembali Ia tampilkan lagi. Gadis itu melangkah mendekati meja makan, melihat bubur dan sup buatannya masih tersisa sangat banyak.
Gadis itu menatap semangkuk besar bubur dan sup itu dengan putus asa, “Harus aku apakan bubur-bubur sebanyak ini?”
|||
Di kala aktivitasnya menyeleksi beberapa teks yang dikirimkan orang-orang yang ingin menerbitkan bukunya lewat penerbit milik Kim Hanbin selesai, tak lengkap rasanya bila Ia tak bercengkrama dengan sahabatnya yang bekerja sebagai bos sebuah perkantoran besar di Korea Selatan itu.
Seperti biasa, didinginnya malam kota Seoul, dua orang pria itu akan menghabiskan waktunya untuk sedikit berbagi cerita mereka masing-masing.
“Bagaimana? Sudah banyak teks yang bisa kau jadikan buku?”
Hanbin yang baru saja meneguk segelas kecil sojunya hanya berdecak pelan, “Aku bahkan menolak semua teks itu. Bahasanya berantakan. Ceritanya tak masuk akal. Alurnya yang tak jelas,” dengusnya.
Myungsoo menggelengkan kepalanya melihat bagaimana seorang Kim Hanbin yang sangat sulit. Pria itu benar-benar terlalu detail.
Pria itu akhirnya merespon, “seleramu itu yang tak masuk akal,” sindirnya membuat Hanbin menoleh dengan tatapan dingin sembari melanjutkan meminum sojunya.
“Aku hanya mencari karya yang bisa kusebut tulisan. Mereka itu hanya bermain-main dengan tulisannya,”
Myungsoo tak merespon lagi. Ia malah menanyakan hal baru kepada sahabatnya itu, “Bagaimana keadaan Jennie?”
Hanbin menoleh, menatap sahabatnya dengan tatapan kurang enak, “ada apa kau menanyainya?”
Myungsoo membalas tatapan itu sambil tertawa sumbang, “tentu saja aku harus menanyainya. Kau pikir bagaimana aku tak bisa menanyai keadaannya ketika bertemu dengannya sedang berjalan kaki untuk pulang dengan pakaian terbuka tadi malam?”
Hanbin terdiam sebentar. Sahabatnya itu melanjutkan kalimatnya lagi, “Apa ini semua ulahmu?”
Lagi-lagi Hanbin melemparkan tatapan bingung, “Hyung, kau ini bicara apa, sih?”
Tawa sumbang itu kembali terdengar. Myungsoo menatap Hanbin tak percaya, “Jadi kau tak tau apa yang Dia lalui semalam untuk kembali pulang ke rumahmu?”
Hanbin tak merespon. Netranya masih beradu dengan netra Myungsoo yang masih memberikan tatapan tak percayanya, “Hanbin-ah, kau sahabatku. Tapi kau cukup brengsek kepada asistenmu itu,”
Hanbin masih mengernyitkan dahinya,
“Dengan pakaian terbuka seperti itu, Dia berjalan pulang dan malam itu sudah sangat larut. Setega itu kau membiarkannya? Apa kau tak bisa mengirimkan supir pribadimu untuk mengantarkannya pulang?”
Hanbin mendengus pelan, “Apa yang kau bicarakan? Hyung, kau adalah seorang pria. Tak perlu membuat-buat cerita seperti itu. Apa tujuannya? Biar aku bisa melupakan Roe? Tenang saja, Jennie itu baik-baik saja. Ia melakukan tugas rumah dan menemaniku seperti biasa. Bahkan hari ini Dia terlihat lebih semangat dari biasanya,”
Myungsoo kembali tertawa sumbang sambil menggelengkan kepalanya mendengarkan penjelasan yang baru saja dipaparkan sahabatnya itu, “Hanbin-ah, aku tau kalau Dia hanya asistenmu, tapi cobalah berpikir untuk memberikannya sedikit perhatian. Atau paling tidak hargai keberadaannya yang telah mau menemanimu menulis selama 3 tahun ini,”
Hanbin masih terdiam, menunggu kelanjutan ucapan dari Myungsoo, “Aku tau, kau membayarnya. Aku tau kalau Dia bekerja untukmu. Tapi sadarlah, Dia juga manusia. Terlebih, Dia adalah seorang perempuan,”
Sorot mata Myungsoo terlihat berubah, seakan menantang sahabatnya itu, “jika kau memang tak bisa memperlakukan asistenmu itu dengan layak, biar aku saja yang membawanya pulang,”
|||
KAMU SEDANG MEMBACA
F I C T I O N ✓ completed
General FictionMenjadi seorang penulis sukses diumur 26 tahun tak pernah menyurutkan tekad seorang Kim Hanbin untuk mencari gadis yang menjadi peran utama dalam buku terbitan paling terkenal miliknya yang berjudul "Fiction". Gadis yang bahkan tak pernah Ia jumpai...