Sudah hampir 30 menit gadis bermata kucing itu menunggu sang resepsionis untuk memanggil Kim Hanbin. Namun di seperempat jam pun, resepsionis wanita itu tak kunjung menyentuh telefon yang ada disana.
“Apa kau tak ingin menghubunginya?”
Resepsionis wanita itu menoleh, “maaf, tapi sudah ada karyawan yang akan memanggil Presdir. Mohon bersabar sebentar,”
Jennie menghela nafas pelan. Ia kembali melirik jam tangannya. 15 menit berlalu dan gadis itu hanya mondar-mandir menunggu kedatangan Kim Hanbin.
Gadis itu kembali mengeluh kearah sang resepsionis tersebut, “tak bisakah kau saja yang menghubunginya?”
Resepsionis wanita itu menatapnya ragu. Ia terlihat kalut dengan keadaan yang ada, “Ah, maaf. Tidak bisa,”
Jennie lagi-lagi menghela nafas kasar. Ia tak ingin mengumpat, mencoba membawa diri untuk tenang dan duduk di bangku yang telah disediakan.
Rasa kesal pasti ada. Maksudnya, apa gunanya resepsionis itu berdiri disana bila harus memberi tanggung jawabnya kepada orang lain.
Untuk yang kesekian kalinya, Jennie melirik jam tangan tersebut. Rasa tak sabaran membuatnya menjadi sedikit mengantuk. Tak ada yang sebenarnya bisa dilakukan selain duduk seperti orang bodoh, menunggu sesuatu yang tak pasti kedatangannya.
Lambat laun, mata gadis itu mulai terkatup. Suasana dingin dan tenang kantor perusahaan tersebut menjadi salah satu faktor timbulnya kantuk itu.
Selang 30 menit, matanya kembali terbuka ketika Ia dapat dengan jelas mendengar pekikan dari suara berat yang sudah sangat tidak asing lagi ditelinganya.
“Kembali bekerja atau kau kupecat. Pergi!”
Tak hanya Kim Jennie, seluruh karyawan yang menempati ruang tersebut juga pasti akan mengalihkan pandangannya ketika sang Presdir ganas itu sudah memekik.
Tak lama pria itu memutar badannya. Tatapan dingin itu kembali hadir setelah beberapa hari menghilang,
“Ada apa datang kemari?”
Jennie bergeming. Pria itu benar-benar tak seperti Kim Hanbin yang baru kemarin Ia lihat.
Tatapannya menjadi ragu, “Euh, ini. Buku jurnalmu tertinggal di meja makan,”
Hanbin kemudian melirik sebuah buku seukuran map yang kini tengah menempel di tangan kanan sang gadis.
“Datang kesini hanya untuk membawakan buku itu?”
Jennie mengangguk pelan, “maaf bila menganggumu,”
Hanbin memutar matanya, “aku sedang sibuk menyeleksi naskah dan kau menunggu disini seperti orang bodoh hanya untuk membawakan buku jurnalku? Kau bisa menitipkannya kepada resepsionis dan kembali pulang,” tegasnya.
Jennie nampak kembali kalut. Namun tetap saja, Ia berusaha tenang menanggapi omelan Hanbin tadi, “kupikir ini sudah waktunya makan siang. Aku membawakan makanan untukmu,”
Hanbin terdiam. Netranya kini sudah fokus pada 2 buah lunch bag yang digenggam tangan kiri Jennie kini.
Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah jam tangan hitam keluaran Bulgari itu, “Baiklah. Tunggu disini sebentar. Aku akan menaruh bukuku dulu,”
Jennie hanya mengangguk sembari memperhatikan langkah pria tersebut yang sudah mulai meninggalkannya.
Gadis itu kembali duduk. Senyuman kecil terpancar di kedua sudut bibirnya. Rasa penat menunggu sepertinya akan terbayar dengan makan siang bersama Kim Hanbin.
KAMU SEDANG MEMBACA
F I C T I O N ✓ completed
General FictionMenjadi seorang penulis sukses diumur 26 tahun tak pernah menyurutkan tekad seorang Kim Hanbin untuk mencari gadis yang menjadi peran utama dalam buku terbitan paling terkenal miliknya yang berjudul "Fiction". Gadis yang bahkan tak pernah Ia jumpai...