Pagi itu, Jennie kembali disibukkan dengan peralatan memasaknya. Kali ini, Ia kembali membuat bubur ayam dan beberapa kentang goreng untuk sarapan Kim Hanbin.
Jennie melirik ke arah jam yang menempel di dinding dapur. Sudah hampir pukul 10 pagi, dan jasad Kim Hanbin masih belum kelihatan. Tidak biasanya pria itu seterlambat ini. Paling lambat, Ia akan bangun dan mulai sarapan pada pukul 9 pagi.
Awalnya Ia enggan untuk menghampiri sang penulis langsung ke kamarnya. Tapi lagi-lagi, batin Jennie terasa tidak enak. Mau tak mau, Ia harus memeriksa keadaan Hanbin yang sampai saat ini belum muncul juga.
Secara perlahan, Kim Jennie mulai menghentikan aktivitasnya untuk sementara. Apron berwarna hitam yang sedari tadi menggantung di badannya kini Ia lepas. Langkahnya sudah mulai Ia arahkan menuju tangga.
Tak selang beberapa detik, Kim Jennie akhirnya sampai tepat di depan pintu kamar Kim Hanbin.
Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ketakutannya akan kehadirannya yang nantinya mungkin kembali tak dihargai hadir. Jennie takut, bila nanti Kim Hanbin hanya akan mencemoohnya.
Namun tetap saja, pria itu membuatnya khawatir akan ketidakhadirannya pagi ini.
Dengan pelan dan perlahan, Jennie mulai membuka pintu kamar Kim Hanbin. Sang gadis akhirnya menemukan jasad Kim Hanbin yang masih terbaring di atas kasur. Selimut berwarna hitam itu bahkan hampir menutupi seluruh tubuhnya.
Ekspresi cemas dan khawatir benar-benar tak bisa terelakkan. Jennie kemudian langsung menghampiri penulis tersebut untuk melihat keadaannya yang sebenarnya.
“Hanbin-ssi,”
Mata Hanbin yang awalnya tertutup Ia buka secara perlahan. Jennie dapat menangkap bagaimana lesu dan loyonya ekspresi wajah yang diberikan pria itu. Ia terlihat sangat pucat. Kantung matanya juga terlihat sangat jelas.
“Apa yang terjadi?”, ujar Kim Jennie, masih dengan ekspresi kekhawatirannya.
Hanbin sedikit mengubah posisinya, mengatur pernafasannya dan sedikit memijit dahinya, “aku, hanya sedikit tidak sehat---,” didetik berikutnya, pria itu terbatuk. Terdengar cukup parah, membuat Jennie lagi-lagi harus merasakan kekhawatiran pada pria itu.
Ia kembali berujar, “akan kupanggilkan dokter. Kuharap kau bisa menunggu sebentar. Aku juga akan mengambilkan sarapanmu,” ujarnya tanpa harus mengetahui respon Kim Hanbin. Gadis itu segera berlari keluar kamar untuk menelefon dokter. Ia juga secara cekatan langsung membawakannya sarapan.
Tak lama setelah beberapa menit, gadis itu kembali dengan sebuah nampan berisikan semangkuk bubur ayam hangat dan susu. Ia segera meletakkan nampan tersebut di atas meja nakas Kim Hanbin.
“Kau bisa mengubah posisi tidurmu sebentar? Kau harus sarapan”, ujarnya.
Hanbin menggeleng pelan, “aku tidak lapar. Aku hanya perlu istirahat. Kepalaku sangat pusing,”
Jennie kembali membantah, “tapi kau harus makan. Lihatlah, wajahmu sangat pucat. Kau akan semakin sakit bila kau tak memaksakan diri untuk makan. Paling tidak beberapa suap saja cukup agar perutmu terisi,”
Hanbin kembali menggeleng, menolak bantahan dari Jennie, “kau, tak bisa memaksaku. Aku benar-benar tidak lapar. Aku tak nafsu untuk makan. Aku, hanya perlu istirahat saja,”
Jennie terlihat sedikit putus asa sebelum akhirnya kembali mencoba membujuk Kim Hanbin untuk sarapan, “Hanbin-ssi, sedikit saja,”
Tetap saja, Hanbin tetap kekeh untuk tidak menyantap sarapan yang dibawakan Jennie saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
F I C T I O N ✓ completed
Fiction généraleMenjadi seorang penulis sukses diumur 26 tahun tak pernah menyurutkan tekad seorang Kim Hanbin untuk mencari gadis yang menjadi peran utama dalam buku terbitan paling terkenal miliknya yang berjudul "Fiction". Gadis yang bahkan tak pernah Ia jumpai...