partie vingt-quatre

627 140 24
                                    

Tak seperti biasa. Di malam yang dingin seperti sekarang ini, Hanbin dan Myungsoo pasti akan menghabiskan waktu untuk saling bercengkrama, menceritakan suka duka hari ini bersama sambil dibumbui tawa hangat dan dua botol soju. Namun kali ini berbeda, pria yang telah Hanbin kenal 5 tahun ini malah membawanya ke taman Haneul, tempat terakhir dirinya dan Jennie bercengkrama.

Di malam yang dingin itu pula keduanya hanya ditemani rasa canggung dan keheningan. Myungsoo tak seperti orang yang Hanbin kenal sebelumnya. Pria itu menjadi sedikit pendiam.

“Kau menyuruhku kesini hanya untuk berdiam diri?”.

Suara dingin dari Hanbin itu akhirnya sukses memecah keheningan diantara keduanya. Myungsoo yang duduk sedikit berjauhan dari sohibnya itu hanya menoleh, memberikan senyuman yang tak bisa disebut senyuman.

Kembali menoleh ke arah lain, Myungsoo akhirnya mulai bersuara, “dimana Jennie?”.

Hanbin ikut menoleh ke arah pria itu. Entahlah, tapi rahangnya sedikit mengeras ketika pria tersebut menanyakan keberadaan gadis bernama Jennie itu padanya.

“Kau tak berhak mengetahui dimana Dia”.

Mendengar jawaban tersebut membuat Myungsoo sedikit tertawa. Hanya tawa yang Ia tahan.

Kembali menoleh, pria itu akhirnya berujar, “kau tak tahu apa yang sebenarnya terjadi”.

Hanbin terdiam. Dadanya terasa sangat sesak ketika Myungsoo mengatakan hal tersebut.

“Aku tak tahu dari siapa atau darimana kau mendapatkan foto tersebut. Tapi dapat kujamin, orang itu sudah sangat berhasil menghancurkan Kim Jennie yang cerah”, ujarnya lagi.

Hanbin tak tahan dengan kalimat bertele-tele Myungsoo. Ia sudah benar-benar tak ingin untuk diajak berpikir.

“Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?”.

Pertanyaan tak sabaran dari Hanbin kembali membuat Myungsoo menahan tawanya yang terasa sakit bila Ia keluarkan.

“Kau memecatnya?”.

Hanbin kembali diam. Ia tak tahu mengapa dadanya tiba-tiba terasa nyeri seperti ini. Ia yakin, Myungsoo pasti sedang menjebaknya.

“Apa sebenarnya tujuan kau mengajakku kesini? Apa yang terjadi padamu?”. Nada pria itu mulai meninggi. Namun kalimat tersebut tak membuat nyali Myungsoo menciut.

Pria itu hanya menggeleng pelan, sedikit menepuk bahu kokoh Kim Hanbin sebelum akhirnya berujar, “Hanbin-ah, Kim Jennie bukanlah sosok murahan yang selama ini kau sebut. Dia adalah gadis yang baik, bahkan dunia pun tak pantas untuk mendapatkannya. Malam itu, memang aku yang memulai untuk mencoba memeluknya. Aku sangat ingin merasakan sedikit saja pelukan dari seorang malaikat bumi. Tapi dengan tegas, Ia menolak. Ia tak ingin mengecewakanmu. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”.

Pemaparan panjang yang terucap dari lidah pria itu membuat dada Hanbin semakin berkobar. Rahangnya semakin mengeras. Tanpa ampun, pria itu langsung bangkit dan melemparkan satu pukulan kuat ke wajah sohibnya itu.

“Dasar bajingan! Kupikir kau adalah pria baik. Ternyata selama ini kau yang murahan. Persetan denganmu!”, umpatnya sembari kembali melemparkan pukulan keras ke arah Myungsoo yang telah tersungkur ke atas tanah.

Pukulan tersebut tak serta merta membuat pria itu malah mengerang. Myungsoo bahkan merespon hal tersebut dengan tawa yang semakin Ia tahan, “aku memang brengsek. Aku memang salah. Tapi aku bersyukur, Jennie akhirnya lepas darimu. Ia, pantas mendapatkan kebahagian. Terlalu banyak luka yang Ia simpan karena kau. Kau yang bajingan!”, teriak Myungsoo sembari bangkit. Meski Ia tahu Ia tak akan kuat untuk membalas pukulan pria itu. Namun Ia puas, Kim Hanbin nampak K.O dengan kata-katanya.

Pria yang wajahnya sudah membiru itu mulai melangkah mendekati Kim Hanbin dengan gontai, “aku harap, aku tahu semua ini dari awal. Ku harap, aku akan menemukan gadis itu nanti”, bisiknya sembari berlalu. Langkahnya yang pincang tak malah membuat Hanbin menjadi kasihan. Pria itu hanya melepas kepergian sang sohib. Kembali terdiam ataa rentetan kalimat yang pria itu sempat ujarkan kepadanya.

|||

Tiga minggu setelah kejadian dimana Hanbin yang memukuli Myungsoo, keduanya tak pernah lagi bertemu. Tak ada lagi malam-malam antara dirinya dengan sang sohib saling bercengkrama.

Selama itu pula, Kim Jennie tak lagi menempati rumahnya. Tak ada lagi yang membangunkannya, menyiapkannya sarapan, menemaninya menulis. Tak ada lagi. Semua itu hanya akan menjadi bayangan saat ini.

Menyusuri tangga, Hanbin kembali tak menemukan siapapun diruang tengah, dapur, ataupun ruang makannya. Sudah tiga minggu berlalu dan Hanbin masih belum bisa terbiasa dengan keadaan ini.

Dengan langkah malas, pria itu akhirnya mencapai dapur, membuka kulkasnya, mencoba menemukan makanan apa yang bisa Ia santap untuk pagi ini.

Nihil. Hanya sekotak susu dan selai coklat. Tak ada roti ataupun bahan makanan lain yang bisa Ia jadikan santapan pagi ini.

Tak ingin munafik, namun perutnya sangat keroncongan.

Keadaan yang ada membuatnya mau tak mau harus memesan makanan siap antar di salah satu restoran di Korea.

Kembali dengan langkah malas, pria itu mulai menduduki sofa di ruang tengahnya, menghidupkan TV lalu menonton acara yang tak Ia sendiri tak tahu acara apa itu. Terkadang secara acak, Hanbin menggonta-ganti channel yang ada sesuka hati, tanpa ada niat untuk menontonnya. Hanya sekedar agar suara dari TV itu dapat menghilangkan keheningan dirumahnya.

Tak lama Kim Hanbin akhirnya melemparkan remot TV tersebut ke segala arah. Matanya terpejam. Tangannya memijat pelipisnya yang terasa sakit sejak Ia bangun tidur tadi. Makanan yang Ia pesan pun datang sangat lama dari dugaannya.

Hanbin menghela nafas, ekor matanya menemukan kamar Jennie yang terletak tak jauh dari ruang tengah tersebut. Ia tak punya niat untuk mengunjungi kamar itu.

Bertepatan dengan itu pula, ponselnya berdering. Menampilkan SooHyuk, sang editor yang tengah menelfonnya kini.

Dengan malas, pria itu akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

Hanbin-ah”.

Suara SooHyuk yang tengah menyebut namanya itu tak malah membuat Hanbin mau merespon. Ia hanya diam, menunggu kalimat lain muncul.

Kapan kau akan datang ke kantor? Semakin banyak naskah yang harus kau seleksi. Banyak karyawan yang protes akan ketidakhadiranmu. Tugas apa yang harus mereka kerjakan?”

Mendengar pertanyaan berbelit-belit itu membuat Hanbin semakin malas dan segera menutup panggilannya.

Lagaknya terlihat semakin frustasi.

Sesuatu kembali mengganjal di hatinya.

|||

Hallo temen-temen!!! Akhirnya aku kembali dengan part terbaru dari FICTION.

Pada kangen, gak sama cerita ini? Semoga banyak yang nungguin, yaa.

Maaf, yaa sekarang aku udah mulai sering telat update. Lowkey, aku pengen bisa apdet tiap hari lagi kayak dulu. Tapiii, sepertinya tidak bisa. Keadaan memaksaku untuk sedikit membagi waktu antara wattpad dengan dunia nyata, hehee.

Tapi tetep, akan selalu aku usahain untuk gak kelamaan nganggurin cerita aku. Selalu aku usahakan.

Btw, semoga suka sama part ini, yaa.

Jangan lupa untuk selalu ninggalin jejak kamu.

Thankyou ya udah mampir
Uvu❤

F I C T I O N ✓ completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang