06 || (se)Rumah

33 9 0
                                    

Holaa!☃️
Klik ⭐ klik ⭐
Maafak typo(s) bertebaran.

- Apa dulu aku menyukainya ?! -

[ Renal PoV ]

👑

Setelah keluar dari rumah sakit, dua minggu telah berlalu. Aku dan Kia sekarang tinggal di rumah orangtua Kia. Bukan karena kami tidak punya rumah, tapi sementara Kia harus beradaptasi dengan keluarga. Dia telah kehilangan semua memori tentang keluarganya, terutama aku sendiri suaminya.

Selama dua minggu kami jarang sekali untuk mengobrol. Kiana seakan menghindariku. Dia selalu saja menyibukkan diri sendiri. Terlebih dia tidak mau tidur sekamar denganku. Memang Kia tidak mengatakan secara langsung. Tapi, sikap dan alasan dia ingin selalu tidur dengan ibunya sudah tergambar jelas. Jelas sekali dia tidak mau dekat denganku.

Sikapnya kepadaku sudah berubah total. Dia bukan Kiana yang aku kenal dulu. Dia bukan Kia yang selalu memintaku untuk menjadi temannya. Dia bukan Kiana yang si princess manja yang selalu menempel padaku.

"Kamu baru pulang jalan-jalan?" Tanyaku menghampirinya dan mengambil barang-barang yang dia bawa. Aku tersenyum padanya, tapi Kia bahkan tak membalas senyumku.

"Hmm," gumam Kia membenarkan.

"Pakaian yang kamu beli tidak ada yang berwarna pink?" ucapku heran. Tidak biasanya dia membeli pakaian sebanyak ini, tapi tak apa aku masih memakluminya. Hanya saja diantara pakaian ini tidak ada yang berwarna pink? Tidak ada warna kesukaannya? Aku heran dibuatnya.

"Hmm. Ternyata aku mempunyai banyak pakaian pink dilemari, hampir semuanya. Aku bosan dan lagi apa bagusnya warna pink? Warna pink biasa saja."

Keningku menggerleyit heran. Seorang Kiana berkata warna pink biasa dan bosan pada warna pink? Memangnya dulu siapa yang memaksaku untuk berkencan menggunakan pakaian pink?

"Yasudah yang penting kamu senang" kataku sembari nengacak rambutnya, "Ayo makan dulu, aku sudah menunggumu dari tadi" lanjutku melewatinya.

"Hmm," jawabnya mengiyakan.

👑

"Ini rumah kita?" Tanya Kiana saat kita berdua sudah sampai di depan sebuah rumah minimalis. Setelah hampir tiga minggu di rumah orangtua Kia, kita memutuskan untuk pindah. Tentu saja Kia tidak setuju, hanya saja aku memaksa kepada mertuaku.

Aku memang sudah menyiapkan rumah ini sebagai hadiah lamaranku dulu. Rumah didepanku ini atas nama Kiana. Tidak terlalu besar memang, tapi ini hasil kerja kerasku di Jerman saat menjadi guru musik.

"Iya ini rumah kita berdua, aku membelikannya untukmu sebagai hadiah lamaran." Ucapku sembari melihat ekspresi Kia yang sedang mengamati halaman rumah. Dia cukup senang rupanya, setidaknya dia tersenyum tipis.

Dengan pekerjaan yang aku miliki sekarang bisa saja kita membeli rumah yang lebih besar. Tapi aku ingat, Kiana pernah berkata kalau kita akan memulai hidup baru disini terlebih dahulu. Hidup sederhana.

"Untukku?"

"Iya untukmu. Sebaiknya kita masuk terlebih dahulu." Ajakku kepadanya. Langsung saja aku merebut koper yang dia bawa dan melewatinya. Jika tidak mendahuluinya masuk, Kiana tidak akan mau masuk.

Saat membuka pintu, kita disambut dengan ruang tamu bernuansa hangat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat membuka pintu, kita disambut dengan ruang tamu bernuansa hangat. Tembok yang dicat putih dengan sedikit aksen tak beraturan. Lantai yang bercorak abstrak dengan dipadu padan karpet berbulu berwarna ungu. Beberapa sofa berwarna pastel, menambah suasana hangat api unggun buatan. Serta lampu, bunga-bunga dan beberapa lukisan berwarna pink sedikit memberi kesan ceria. Juga tidak lupa sebuah tanaman dan gorden berwarna hijau memberi kesan segar. Tidak monoton.

"Apa kamu menyukai ruang tamu kita?" Tanyaku penasaran. Aku tidak bisa mengetahui ekspresi Kia yang sekarang, padahal dulu sangat mudah untuk mengetahui ekspresi nya.

"Apa dulu, sebelum aku hilang ingatan aku menyukainya? Ruang tamu ini, apa aku menyukainya?" Ucap Kia penasaran dan kali ini dia menatapku lekat. Tatapan yang aku rindukan. Sangat rindu.

"Sangat. Seorang Kia yang dulu sangat menyukainya," jawabku, tentu saja dengan senyuman tulus. "Bahkan kamu sampai memberiku hadiah kembali." Lanjutku.

"Hadiah? Apa yang aku berikan?"

"Sebuah ciuman," pipinya langsung merah. Dia malu, wanitaku merasa malu.

"Apa sekarang kamu juga mau memberiku hadiah?" tanyaku untuk menggodanya.

Kia yang mendengar pertanyaan konyol dariku langsung saja pergi. Tanpa berkata apapun. Aku tersenyum melihat ekspresi kesal sekaligus malunya itu.

07 Maret 2019,
To be continued.

👑

Hope you like it?!
MOHON VOTE KOMEN

Salam sayang,
T a n ☃️

Untuk info go follow instagram:

intansriya
__________

K I A N A , remember me!
copyright © 2019
___________
💙

Fate Of MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang