"hidup memang tidak adil!" itu adalah ke 20 kalinya Jihoon mendengar kalimat itu dari mulut Myungsoo, teman sekelas, ah bukan,maksudnya orang yang berada di kelas yang sama dengannya.
Myungsoo saat ini tak henti-hentinya mengeluh dan curhat sampai-sampai ia heran apakah teman-temannya itu tidak bosan mendengarnya.
"Sudahlah mau bagaimana lagi, orang cantik memang ditakdirkan untuk orang tampan. Kita mah bisa apa?"
ucap seorang temannya yang membuat Myungsoo semakin menghela napas dengan keras." Jung Hera, kenapa tiba-tiba sekalu kau memiliki pacar?" ucap Myungsoo sambil memandang plafon di atasnya.
Jihoon sebenarnya tidak mendegarkan musik sama sekali dari earphonenya. Ia hanya memasangkannya agar Myungsoo tidak mengajaknya bicara.
"Aku ingin mati saja, sepertinya itu lebih baik Daripada melihat Hera bersama seseorang." Jang Hera yang ia maksud adalah seorang aktris yang baru-baru ini digosipkan sedang berkencan dengan seseorang dan baru di ketahuan dan di konfirm hari ini. Makanya Myungsoo seperti itu.
" Aish, bicaramu benar-benar....lagipula masih banyak aktris lain yang lebih cantik dari dia." Temanya itu mendecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jang Hera berbeda dengan gadis lain! Dia cinta pertamaku." balas Myungsoo yang membuat Jihoon merasa geli sekaligus jijik dengan perkatannya. Cinta pertama? Mana ada yang seperti itu?
"Bagaimana menurutmu Jihoon-ah?" tanya Myungsoo yang sekarang menoleh kebelakang. Jihoon mau tak mau melepas earphone nya itu.
"apa?" tanya Jihoon dengan tampang datar.
"apakah lebih baik aku mati hari ini?" tanya Myungsoo yang membuat Jihoon mengangkat sebelah alisnya.
"Hei, kita masih 18 tahun.Kurang-kurangilah untuk minum. Nanti kau bisa jadi semakin bodoh." Ucap temannya yang kemudian bangkit berdiri untuk berjalan keluar kelas Karena bel sudah berbunyi.
"Ya! Kau tidak mau ikut mati?" teriak Myungsoo pada temannya itu.
"Tidak, hari ini aku ada janji dengan anak klub basket." ucapnya yang langsung kembali berjalan meninggalkan Myungsoo yang mendecak.
"Jadi bagaimana menurutmu? Apakah aku harus mati hari ini?" tanya Myungsoo kembali pada Jihoon.
Jihoon mengangkat kedua bahunya dan kembali bermain dengan ponselnya, "terserahmu. toh bukan urusanku."
"Hmm kalau Kihyun tidak bisa mati bersamaku hari ini berarti..." Myungsoo tampak berpikir sebentar sebelum kemudian melirik ke Jihoon," kalau begitu ayo kita mati bersama!"
Jihoon kembali melirik ke Myungsoo. Myungsoo sendiri pun hanya menatapnya dengan tatapan memohon. Ia ingin sekali minum-minum hingga membuat pikirannya kosong dan mengurangi sakit hatinya itu.
"Aku tidak mau mati hari ini, tapi aku akan membantumu, puas?" Myungsoo menganggukan kepalanya dengan keras. Setidaknya ia ada teman minum.
"Baiklak bagaimana jika kita bertemu di sana?" Jihoon menunjuk sebuah hutan dari kejauhan.
Myungsoo menatap Jihoon dengan bingung, " kenapa dihutan itu?"
"Terserahmu sih, aku kan hanya ingin agar kamu tidak ketahuan kalau mau mati hari ini." Jihoon mengedikan bahunya lagi.
"Benar juga, aku tidak mau tertangkap polisi karena ketahuan. Baiklah ayo kita bertemu disana."
.
.
.
"Jihoon!" panggil Myungsoo ketika sudah sampai di tengah hutan. Awalnya ia takut tersesat. Tapi terjyata hutan ini tidak terlalu lebat sehingga jalan untuk keluar lagi masih kelihatan.Jihoon menoleh dan melihat Myungsoo membawa sebuah plastik. Myungsoo kemudian duduk di tanah tepatnya di hadapan Jihoon. Ia kemudian mengeluarkan semua bir dari kantong hitam tersebut.
Myungsoo meminum bir-bir tersebut sambil kembali berceloteh tentang Hera. Sampai pada akhirnya kaleng terakhir habis, di pun terkapar di tanah. Jihoon menghela napas dengan lega karena celotehan Myungsoo sudah selesai.
Jihoon kemudian menarik tubuh Myungsoo yang sudah tidak sadar diri ke bawah pohon. Kemudian ia melepaskan tali yang tadi sempat ia ikat tadi di pohon tersebut. Ia tidak mau memotong dengan menggunakan pisau, karena polisi pasti langsung mengetahui kalau ini adalah pembunuhan.
Tepat setelah tali tersebut longgar, sebuah batu besar yang sedari tadi menggantung langsung jatuh dan menimpa kepala Myungsoo. Darah langsung bercecean dimana-mana. Untunglah Jihoon sempat bersembunyi dibalik pohon sehingga dia tidak memiliki bekas darah.
Kemudian ia membungkus tubuh Myungsoo dengan rumput kering yang sudah ia kumpulkan sembari menunggu Myungsoo. kemudian ia menggulingkan tubuh tersebut ke arah tebing. Ia menatap sebentar tubuh Myungsoo yang terjatuh.
"Kau tahu,bodoh sekali kau ingin mati Hanya Karena idola mu berpacaran. Kau yang memintaku untuk membantumu,jadi Sekarang bukan salahku." Jihoon bermonolog sendiri sebelum kemudian berbalik untuk membereskan minuman kaleng dan membuangnya di luar hutan.
"Kau ahli juga dalam hal seperti ini." Sebuah suara membuat Jihoon menoleh. Ia melihat seorang pria berkacamata sedang bersandar di salah satu pohon di luar hutan.
"Apa maumu?" tanya Jihoon yang berusaha tenang.
" Ikut denganku ke Seventeen." ucap pria itu yang sekarang berjalan mendekat ke arah Jihoon.
"Tempat apa itu?"
"Tempat kebahagiaan menurutku."
"Kalau begitu aku tidak tertarik. Sudah ya." Jihoon kembali berjalan.
"kalau aku menyebutkan sebagai tempat kebahagiaan para psikopat sepertimu, apakah kau tertarik?" ucap orang itu lagi yang membuat Jihoon kembali menoleh.
"psikopat? Aku bukan psikopat!"
"Oh ya? Tapi caramu membunuh dan menghilangkan jejak benar-benar mirip dengan seorang psikopat." balas orang itu. Kali ini ia tidak berkutik karena orang yang berada dihadapannya ini melihat semuanya.
"Baiklah aku ikut denganmu tapi dengan syarat lupakan apa yang kau lihat tadi. Dan jika tempat tersebut tidak sesuai harapanku, aku akan langsung pergi. Oke?"
Pria itu tidak menjawab. Namun sebuah senyum miring ia tunjukan sambil mengulurkan tangannya, "namaku Seungcheol Dan aku berani jamin kau akan selalu rindu akan tempat itu nantinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our story (Seventeen psychopath series)(completed)
Mystery / Thrillersebuah cerita dimana mereka menemukan sebuah rumah yang bernama Seventeen Rank #419 on mystery category Rank #20 on psycopath category