Chan melangkahkan kakinya dengan malas kearah sebuah rumah. Ada perasaan jijik dan juga enggan yang sangat mendalam ketika ia sudah berdiri di depan pintu belakang rumahnya.
Ini sudah beberapa hari sejak ia kabur dari rumah. Mungkin ini sudah ke-5 kalinya ia kabur dari rumah tersebut. Namun,sepertinya kehilangannya juga tidak membuat penghuni di dalam rumah tersebut berduka atau malah peduli.
Ia sudah di drop out oleh sekolah karena sudah 1 bulan ia tidak masuk dan itu ia rahasiakan dari ayahnya,satu-satunya penghuni yang tinggal bersamanya dirumah menjijikan ini. Ah,mungkin dengan tambahan teman-teman tidurnya dan juga serbuk putih serta jarum suntik.
Ia tidak peduli dengan masa depannya. Untuk apa? Bukankah namanya sudah jelek karena memiliki ayah seperti itu? Untuk apa ia bersekolah dan berkerja susah payah yang ujung-ujung hanya mendapat hujatan oleh orang karena riwayat ayahnya?
Tapi sekarang ia sedang butuh uang, perutnya bisa meledak jika diisi dengan mi instan dari minimarket setiap hari. Ia butuh makanan asli. Mungkin dengan mencuri sedikit uang dari dalam rumah tersebut ia bisa kembali menjalankan hidup. Meskipun ia berkemungkinan besar harus menerima tonjokan dan pukulan serta melihat teman-temannya seks di satu ruang yang sama. Menjijikan.
Ia akhirnya membuka pintu dengan perlahan, tentu saja ia membuka pintu belakang rumah karena pintu utama selalu terkunci untuk berjaga-jaga agar polisi tidak masuk. Ia melangkahkan kakinya dengan perlahan, rencananya ia ingin langsung masuk kedalam kamar ayahnya dan mengambil uang didalam meja rias tanpa bertemu dengan ayahnya. Ia mengintip sekilas kearah ruang tamu. Terdapat kepulan asap yang membuat dadanya sesak,tapi ia tidak melihat ayahnya disana, melainkan hanya teman-temannya.
Ia pun berjalan ke kamar ayahnya, matanya membulat seketika ketika melihat ayahnya tengah bergumul dengan 2 orang wanita diranjang queen size. Bahkan dengan desahan yang membuat orang-orang dapat mendengarnya dari luar.
Chan menggeram dan mengepalkan tangannya. Ia langsung masuk ke dalam kamar tersebut dan mengambil dompet yang terletak dimeja rias dekat pintu. Ia langsung menutup kembali pintu tersebut dengan kencang.
"Hei anak sialan! Kemari kau, anak haram!" teriak sanga ayah yang tanpa malu keluar dengan tidak satupun helai menutupi tubuhnya. Matanya tidak fokus dan terdapat banyak luka di tangan serta kakinya. Apalagi kalau bukan karena serbuk-serbuk putih itu.
Chan membenci dirinya yang lebih kecil dari ayahnya itu sehingga ia dapat dengan mudah tertangkap dan sekarang lehernya dicengkram kuat oleh sang ayah. Orang dihadapannya ini tidak lagi layak disebut sebagai manusia, bahkan jika dikatakan hewan itu masih terlalu bagus.
"Sudah baru pulang sekarang malah mengambil dompetku?" ucap ayahnya yang menggeram pelan. Terlihat tatapan kebencian dari kedua matanya itu. Yang ia bingungkan adalah, memangnya dia salah apa? Bukankah yang membuat ibunya pergi itu karena dia sendiri yang selalu memukulnya?
"Aku bukan anakmu lagi, lepaskan aku!" teriak Chan di sela-sela ia bernapas.
"Anak sialan, aku yang menentukan kau anakku atau bukan! Dan jika kau tahu, aku sudah lama tidak menganggapmu anak." Setelah mengucapkan itu, Chan langsung mendapat hadiah berupa tamparan keras di sebelah kanan pipinya dan juga tonjokan di bagian perutnya. Jika bukan karenal lehernya tengah dicengkram, ia pasti sudah tersungkur dilantai.
Namun sepertinya Tuhan tengah menyelamatkannya. Ayahnya itu melepaskan cengkraman tersebut dan beralih memegang kepalanya. Sepertinya pengaruh obatnya sudah memudar sehingga ia menjadi kesakitan seperti ini.
Dengan sebelah tangannya, Chan segera menyingkirkan tubuhnya dari tempat itu, rasanya ia ingin memuntahkan semua mi instan di perutnya akibat tonjokan tadi. Ia segera berlari ke pintu belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our story (Seventeen psychopath series)(completed)
Mystery / Thrillersebuah cerita dimana mereka menemukan sebuah rumah yang bernama Seventeen Rank #419 on mystery category Rank #20 on psycopath category