Gleiy pov
Kepalaku terasa pusing dan ingin rasanya marah saat ini, melihat eina nangis histeris karena rainka yang sampai saat ini belum pulang, aku ingin marah, emosi, kesal tapi tidak ada untungnya.
Siapa saja yang melihat eina menangis dengan posisi saat ini pasti akan merasakan ngilu di dada dan panas di mata, seakan arina telah tiada eina menangis memeluk baju bekas arin tadi siang dan juga poto kami bertiga.
Berkali-kali aku menghubungi arina yang terangkat namun bukan dirinya, melainkan orang lain yang membuatku kesal, gimana gak kesal dan ingin marah suara yang keluar mengatakan " nomor yang anda tuju sefang tidak aktif atau sedang berada diluar jangkauan cobalah beberapa saat lagi" rasanya aku ingin membanting tuh oprator dan berteriak jangan menganggat telpon dariku untuk arina.
"E....huah....mom-my! Tu mau mo-mmy."
"Ei sama aunty yuk sayang." Bahkan malam-malam gini aku suruh bram jemput rainka di rumah buat bujuk eina yang menangis tak henti-hentinya, sudah 3 jam lamanya dia menangis matanya tertutup bengkak akibat sengatan air mata yang terus saja keluar.
"Mom- tu....hik..., nana mom-my tu?" Tanyanya lirik masih dengan isakan tangisnya pada rainka yang ikut menemaninya terduduk di sudut ruangan.
Kebiasaan eina saat nangis di rumah selalu di sudut ruangan dekat pintu penghubung, entah dia tau atau mungkin ikatan hatinya yang mengatakan.
"Mom-my ei, mau-mom-my tuuuu!! Huah...hik...hik..."
Tanganku mengusap wajah gusar harus bagaimana lagi untuk menghentikan tangisan eina, ingin menghubungi mama dan mamih mertua yang pastinya nanti mereka akan tau apa pekerjaan arina, tidaka da yang tau di keluarga ku dan juga arina termasuk juga rainka.
"Bang! Kak arin lagi kemana sih? Udah jam 9 malam juga." Tanya rainka yang mulai sama-sama geregetnya denganku, rainka berdiri mengikutiku duduk di sofa.
"Bi temenin eina di kasur." Suruh rainka pada bibi yang ikut serta mencoba menenangkan eina.
"Ada yang lo sembunyiin tentang kak arin? Kejadian eina di tinggalin kak arin secara tiba-tiba itu gak sekali dua kali bang, dan gue yakin kalian nyembunyiin sesuatu." Tidak ada jawaban yang mengenai alasan untukku jawab, aku terdiam memejamkan mataku menyenderdi sofa.
Rainka berdecak kesal karena tidak ada jawaban dariku, dia mengguncanhkan tanganku yang tergeletak di sofa samping tubuh.
"Jangan bilang kak arin kerja, dan lo diam di rumah." Untuk kalimat pertama benar,tapi yang kedua tidak, karena aku memang masih bekerja.
Tangisan eina mulai mereda meski masih terdengar sisa jejak tangisannya, perlahan aku membuka mata menganggkat punggungku dan melihat eina takut akan terjadi sesuatu padanya.
"Non eina sudah tidur tuan, mungkin dia cape akibat menangis berjam-jam" sangat mengenaskan! Eina tertidur dengan telingkup memeluk baju arin dan poto kami bertiga.
Baruku sadari ternyata eina sudah pindah di tempat tidur little ponynya, tapi syukurlah eina bisa memejamkan matanya meski sesekali sesegukan.
"Yaudah mendingan sekarang lo pulang, di antar sama mang diman." Rainka mendengus kesal menatapku tajam, tidak ada selera untukku berdebat dengannya.
"Jelasin dulu sama gue, kalau engga gue bakalan diem disini!"
Gue menggeram karena rainka yang meninggikan intonasinya, buru-buru tanganku mengusap eina yang terusik, saat tanganku mengusap punggung eina yang tidak bisa tenang tiba-tiba saja kain yang beraroma yang saat ini aku kesali menutup sebagian tubuh eina.
"Bibi apa-apaan sih! Ngapain baju arin-"
"Orang dulu bilang, kalau anak kecil nangisin mamanya yang gak ada harus di selimutin baju mamanya biar tidurnya nyenyk."
KAMU SEDANG MEMBACA
tak selamanya ada
RomansaMemberikan kebebasan pada seorang istri hingga berakibat perpecahan dari rumah tangga, Antara melepas dan mempertahankan Penasaran langsung baca