delapan

268 26 1
                                    

Mama menatap ku dengan exspresi yang sama sekali tidak ku mengerti. "Udah hampir sepuluh bulan, tapi kamu tetap saja begini. Mau sampai kapan?" Katanya tegas. "Hidup mu harus tetap jalan, Taqwa juga gak mau jika karena dirinya hidupmu harus berhenti" lanjutnya.

Aku mengeratkan pelukan ku pada bantal guling yang sejak tadi menemaniku. Hari ini aku bermalas-malasan aku tak ingin melakukan hal apapun aku ingin tidur, pergi ke alam mimpi dan berharap bertemu dia yang ku rindukan.

"Ayo ganti baju" ucap mama. Aku menatapnya. "Udah jangan banyakan bengong, bajunya udah mama siapin" tangannya menunjuk gamis yang sudah ia strika dan tergantung rapi.

"Mau kemana?" Tanyaku.

"Kamu gak tau Tia lamaran hari ini?" Tia adalah anak dari sepupu mama. "Cepetan"

"Aku males ma" ucapku. Bukan aku tak mau ikut gabung dengan keluarga besar ku, namun aku menghindari mereka, aku tak ingin di olok-olok dengan banyaknya pertanyaan dan rasa kasian dari keluarga ku. Apalagi akan ada yang bilang gini "kasian ya, padahal udah siap semua" aku akan meledak jika ada pembicaraan seperti itu, kenapa dengan persiapan? Toh jika tidak jadi aku anggap semua itu adalah sedekah ku dan gak perlu kasian. Apa lagi akan ada pertanyaan "Rain kapan nikah? Rain kenapa gak jadi nikah? Rain move on dong. Rain cari pengganti nya dong" apa mereka berpikir mengikhlaskan itu lebih gampang dari melepaskan hah? Aku juga gak mau gini jadinya. Aku juga maunya sekarang bersanding bersama Kak Taqwa. Taqwa, Taqwa, Taqwa lagi. Ahhhh kak, engkau membuat ku sedih berkepanjangan.

"Mau sampe kapan dunia mu berhenti?" Tanya mama. Aku tak menjawab. "Kamu udah besar, masalah itu di hadapin, kamu gak akan pernah bisa terus-terusan lari dari kenyataan." Tangan mama menarik tangan ku, membuat ku berdiri atas paksaannya. "Mandi, pakek baju itu, terus dandan yang cantik." Ucapnya.

"Kenapa harus dandan, yang mau lamaran itu Tia bukan aku" ucapku asal.

"Kamu mau di ejek, karena di tinggal calon suami pergi, jadi gak bisa ngurus diri?" Deg, jantung ku berdenyut, mama benar sejak kepergian kak Taqwa aku bahkan tak memperhatikan diriku, badan ku tak terurus sama sekali. Untuk bergerak saja aku malas. Kepergiannya merubah dunia ku seketika.
*****

"Ya ampun cantiknya keponakan Tante" ucap Tante Ana saat melihat diriku. Dia mengelus pundak ku, aku menatap matanya dan aku sangat tau itu tatapan menyedihkan. Bagaimana bisa aku menghadiri acara lamaran, akad dan pernikahan sedangkan pernikahan ku gagal. Ku lihat wajah keluarga besar ku satu persatu, aku benar-benar seperti orang menyedihkan disini. Di kasihani berkali-kali padahal ini sudah sepuluh bulan setelah kejadian.

Aku menghempaskan diriku di ayunan belakang rumah, tak berniat sama sekali ikut berjibun di dalam rumah, keluarga mempelai pria datang aku turut bahagia melihat Tia yang bahagia, ku harap cukup aku yang menyedihkan dan mengenaskan jangan sampai keluarga ku. Tia gadis yang baik-baik, cantik pula dengan postur tubuh yang tinggi semampai membuat dirinya terlihat seperti model. Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit aku masih tetap stay dengan lagu-lagu galau dan novel milik Tia yang sejak tadi ku pinjam. Aku tak memperdulikan siapapun disana, aku tak mau dan tak mau tau. Ku dengar seseorang menghembuskan nafas kasar di dekat ku. Aku menatapnya tak kenal, lalu ku alihkan pandangan ku lalu kembali melanjutkan bacaan ku.

"Geser dong, mau ikut duduk" pintanya.

Aku menatap kesal padanya. "Cari bangku sendiri" tegasku. "Bukan muhrim" lanjutku lagi. Dia mengangguk mengerti lalu mengambil bangku kosong memindahkan nya di dekat ku.

"Gak masuk?" Tanyanya.  Aku tak menjawab, ku tutupi wajahku dengan novel yang ada di genggaman ku. "Aku bicara sama manusia apa tembok?" Tanyanya lagi.

"Bisa gak sih gak usah ganggu orang" ucapku. Lagi-lagi dia mengangguk seakan mengerti lalu diam.

"Disini rupanya" suara Tante Ana terdengar mendekat ke arah kami. "Eh ada Rangga juga, sekalian ayo masuk kalian di tunggu" ucap Tante Ana. Aku mengerutkan kening ku, apa-apaan di tunggu sama orang yang tidak ku kenal ini.

"Tante duluan aja sama dia" aku menunjuk laki-laki itu "nanti aku nyusul" lanjutku.

"Udah sekalian, ayo rain" ucap Tante Ana. Lalu menarik tanganku. Dengan sangat malas aku berdiri, lalu mengikuti Tante Ana dan Rangga yang dari tadi hanya diam.

🥀🥀🥀

"Oh jadi ini Rain, udah besar ya" kata laki-laki bertubuh besar itu menatapku, aku memaksakan seulas senyum. "Inget om gak?" Tanyanya.

Aku menggeleng dari tadi mereka mengajak ku mengobrol tapi aku sama sekali tak mengenali mereka.

"Om Basari, dulu kan rain suka main kerumah sama mama pas waktu masih SD ya, kalau gak salah" ucapnya, ia bertanya kepada istrinya seakan untuk meyakinkan. "Ini Tante Ika dan ini Rangga, masih inget gak sama Rangga? Kan dulu suka jalan-jalan bareng ke taman mini" lanjut Om Basari. Dan saat itu aku ingat, iya aku ingat. Laki-laki yang sejak tadi mengajakku mengobrol dia Rangga, lebih tepatnya Kak Rangga karena dia lebih tua dua tahun dari aku. Kami sudah lama tidak berjumpa karena papa Kak Rangga seorang Kapolda yang harus pindah tugas ke kota Bangka. Akhirnya kami terpisah, Om Basari dan Tante Ika adalah sahabat kecilnya Mama dan Tante Ana. Keluarga Om Basari baru pulang ke Palembang satu bulan yang lalu, karena Om Basari pensiun dan dia lebih memilih pindah ke kota kelahiran nya.

"Ya ampun, maaf kak tadi aku jutek" kataku kepada Kak Rangga. Semua orang yang mendengar tertawa termasuk Kak Rangga tetapi tidak dengan Mama. Mama melototi ku karena aku sudah bersikap tidak wajar pada Kak Rangga.

"Kamu banyak berubah" kata Kak Rangga, ia tersenyum padaku. "Sekarang kuliah atau gimana?" Tanyanya lagi.

"Kerja kak." Ucapku. Hingga hari itu pun berlalu, di habiskan dengan berbagai macam obrolan, saling berkenalan lalu makan-makan. Hidupku terus saja mengalir seperti terbawa arus air, mungkin akan berhenti jika sudah menemukan sandaran yang kokoh untuk berpegangan jika terlepas berarti aku harus kembali terbawa.

🥀🥀🥀

"Cieee ada yang baru" kata Dila. Salah satu temen kantor ku. Aku menatapnya tak mengerti, ia yang paham atas kebingungan ku lalu menunjuk ke arah ruang tunggu. Kedua bola mataku mengikuti jari Dila. Ku lihat Nedis sedang menunggu ku. Aku menatap Nedis, mau apa gerangan ia kesini pagi-pagi.

"Ada apa?" Tanyaku. "Masalah mobil lagi?"

Dia menggeleng. "Aku bawakin ini buat kamu" ucapnya, lalu memberikan dua buah kotak berisi roti coklat. Ya aku memang suka coklat tapi kenapa dia memberikannya padaku?.

"Buat apa?" Tanyaku.

Dia terkekeh geli menatap ku "buat di makanlah" ucapnya dengan ketawa yang masih tersisa. "Yauda aku cuma mau ngasih itu, di makan" ucapnya lalu berlalu pergi.

Oh Tuhan kenapa banyak sekali manusia singgah di hidup ku ini. Ini ujian kah? Atau anugerah? Ahh kurasa ini Ujian.

"Kamu, membuat ku sadar bahwa cinta tak harus memiliki. Walau berat aku belajar ikhlas, melepaskan mu jauh semakin jauh dan lebih jauh."


"Selamat Jalan kenangan, selamat jalan perasaan, titip salam rindu untuk dia yang terkasih, jika boleh, nanti kita menikah di surga ya Kak😊"

Happy reading 💕


Dalam Diam ku ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang