Catatan Hati

373 24 5
                                    

Hati yang menangis meringis pilu belum juga mendapatkan penawarnya. Kata mereka aku terlalu banyak mengeluh tentang cerita hidup yang mungkin saja untuk mereka bukan apa-apa, yah memang mungkin mereka benar menghakimi keluh kesah ku yang tak berujung kesudahan. Aku mungkin tak sekuat itu, menyimpan memendam menyembunyikan semua cerita, duka dan perasaan yang tak mengerti sebenarnya mau apa.

Mereka berkata secara tidak langsung dengan bahasa yang di kemas dengan seindah mungkin bahwa aku adalah beban, aku beban yang ingin sekali mereka tendang, aku mungkin terlalu banyak merepotkan semua orang hingga semuanya terlalu muak.

kalian tau bagaimana rasanya hidup di tengah perasaan bersalah, tidak enak namun tidak tau harus berbuat apa. Aku terlalu sering menangis secara diam-diam ingin membagi beban namun tak lagi memiliki teman aku bahkan nyaris sekali seperti orang yang sangat menyedihkan.

saudara bukanlah orangtua, teman bukanlah keluarga tidak ada yang benar-benar rela menanggung duka kita begitu saja kecuali orangtua.

kupandangi wajah mama dalam tidur lelapnya sejauh ini belum ada sedikit kebahagiaan pernah ku berikan kepadanya, aku selalu menyusahkan hatinya, membuatnya tidur tak nyenyak, makan tak enak terkadang sifat ku yang belakangan ini menjadi pendiam membuatnya terlihat menyedihkan. Aku tak pernah tau ada apa dengan diriku, hatiku dan sikapku. Aku tak mengerti mengapa aku terlalu cepat ingin menangis marah walau tanpa sebab.

"Menikahlah mama ingin melihatmu bahagia, menghantarkan mu kepada seseorang yang akan menjaga mu saat mama sudah tidak ada." Yah mungkin karna kata-kata itulah yang sekarang menjadi beban di pundak ku. Aku tau mama hanya ingin aku bahagia, di usianya yang memasuki enampuluh tahun ia ingin melepaskan bebannya yaitu aku. Aku terguguh menangis semua pembicaraan yang mengesakkan di dada mulai kembali terngiang dan memenuhi ruang di kepala ku, tentang kakak yang sudah meminta aku segera pindah, tentang mama yang sudah meminta aku menikah, tentang mertua kakak perempuan ku yang sudah mencaci maki berkata bahwa aku adalah beban bagi keluarga anaknya belum lagi tentang pekerjaan ku, dunia ku dan tentang perasaan ku yang kecewa. Aku benar-benar ingin menangis meluapkan semua emosi di jiwa ku menorehkan semua luka yang kini membuat dada ku semakin sesak dan semakin sesak, saat ini aku butuh sahabat yang berperan menjadi keluarga, seseorang yang mau mendengarkan ku, menjadi teman berbagiku dan membantuku keluar dari zona yang sudah tidak nyaman ini. Tapi semuanya itu hanya sebatas mimpi ternyata tidak banyak orang yang mau mendengarkan ku, menjadi teman terbaik ku, memberikan ku rasa nyaman untuk meluapkan isi hatiku, tidak ada teman yang seperti itu saat ini yang ada mereka hanya mau menghakimi ku, berkata bahwa aku 'terlalu banyak mengeluh padahal beban orang lain lebih berat' it's okay, no problem jika benar begitu namun kalian harus tau tiap manusia punya caranya sendiri menghadapi masalah dan aku, aku hanya butuh teman yang mau mendengarkan tanpa harus membuat aku depresi dengan perkataannya. Aahh rasanya semua orang akan membuatku gila.

"Kalau aku menikah dengan tujuan ingin ada yang menanggung beban hidupku apa salah?" aku menghembuskan nafas berat, deru nafas ku memburu tak beraturan belakangan ini aku harus menderu pikiran dan hati ku menjadi satu.

"entahlah" jawabnya, pandangannya lurus menatap sebuah jembatan yang banyak sejarah itu.

mataku mulai memanas, ada gas air mata yang sudah siap meledak dan benar saja belum sampai satu menit gas itu meledak membuat hujan di pipi ku. "Aku ingin menyerah saja, menyerah pada dunia yang membuat ku kehilangan akal" lirihku di tengah isak tangis yang baru saja terluap. "Aku sudah seperti orang bodoh yang hanya berharap keadaan akan berubah seiring berjalannya waktu, aku..." nafas ku tersenggal saat semua keluh bertambah menyesakkan hati dan pikiran ku. "Aku bahkan tak punya solusi untuk bahagia" lanjutku.

ia tetap diam memandang ku yang terlihat menyedihkan. Ia tak menjawab tak mencoba menenangkan ku dengan kata-katanya ataupun memberi solusi, ia hanya memandangku dengan tatapannya yang seolah berkata menangislah semau yang kamu mau hingga beban itu terasa sedikit ringan dan tak menyesakkan lagi hatimu.

Dalam Diam ku ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang