Bukan salah cinta

207 25 11
                                    

"Nah selesai..." Miftah menyodorkan sebuah cermin kecil yang kini memantulkan wajahku, ia memoles senatural mungkin wajahku, yah ku akuin Miftah jago nya dalam hal ini. "Gimana? siap? ayo pergi Rei sudah di depan" lanjutnya lalu segera menggandengku keluar kamar, ku lihat Rei sudah menanti kami di luar, ia berbincang dengan kakak iparku setelah kudapatkan izin dari kakak ku akhirnya kami pun pergi, memulai awal pertarungan ku ya sebenarnya dari awal memberikan setuju untuk bertemu dengan orang tua rei itu artinya sudah mengibarkan bendera perang tanpa mempersiapkan pengaman untuk melindungi diriku.

****

aku menatap rumah indah ber cat putih, Ya rumah ini terlalu sering ku lewati namun ini untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke dalamnya. Miftah yang merasa tidak berkepentingan memutuskan untuk pulang, membiarkan ku bertarung sendiri disini. Aku menggigit bibirku, rasa was-was itu kembali datang menjalar ke dalam tubuhku. seorang wanita dengan style feminim dengan kostum elegan yang di sinari perhiasan itu tampak anggun dari dekat, tampak indah dari kejauhan. Ia mendekati kami terutama aku, tak ku dapati senyum ramah dari nya sangat berbeda dengan seorang laki-laki yang berdiri di dekat Rei, dia memberikan senyum ramah nya dan menyambut hangat kehadiran ku.

"Umi, Abi ini Rain.." ucap Rei, ia memperkenalkan ku dengan orangtua nya. tak banyak basa basi yang terjadi, orangtua Rei mengajak ku untuk makan malam bersama mereka, di ruang makan yang terlihat sangat indah dan menawan itu akhirnya pertanyaan demi pertanyaan ku dapatkan dari Umi nya Rei. beliau antusias sekali mewawancarai ku setelah berakhir perbincangan kami akhirnya Umi Rei membawa Rei menjauh dariku, hingga saat itu, telingaku sayup-sayup mendengar pembicaraan Rei dan Ibunya yang berada di dalam sebuah kamar yang tidak jauh dari tempat duduk ku.

"Tapi, aku suka dia, Umi. Dia tidak materialistik, Dia yang aku cari!!" seru Rei dengan nada keras.

Aku tertegun mendengarnya.

"coba kamu pikir lagi dengan logikamu, apa dia cocok denganmu? dengan keluarga besar kita? apa dia bisa bersanding dengan mu?" Umi Rei membalas ucapan Rei dengan nada yang tak kalah keras. Suaranya bagaikan gunung yang meledak.

"Umi, tolonglah jangan bersikap angkuh seperti itu!!" Rei masih mempertahankan nadanya yang keras.

Aku menggelengkan kepala, persoalan klasik. Masalah status sosial! aku sudah mengiranya dari awal. Bom waktu itu lambat laun pasti akan meledak. Namun, aku sudah menyiapkan diriku dengan apik. Aku sudah mempertebal mentalku. Inilah resiko memilih Rei untuk menjadi pelabuhan ku. Tidak semua orang kaya mampu menerima keberadaan orang yang berstatus rendah untuk bergabung menjadi keluarga.

"Rei, dengar Umi!! Ingat, kamu sudah berjanji! seorang ksatria pemberani adalah ksatria yang mampu memenuhi janji. Jangan jadi pengecut!!" Umi Rei meledak. Ia bersuara dengan nada yang amat tinggi bahkan hampir berteriak.

apakah sengaja? agar aku mampu mendengar dengan jelas? seberapa tebal dinding pemisah antara ruang keluarga tempatku duduk dengan kamar tertutup tempat mereka bicara? apakah gabungan batu bata, semen dan pasir mampu meredam suara-suara bervolume tinggi seperti itu?

"Tapi ini soal hati, Mi!" teriak Rei.

"Penuhi janji kamu!" tegas Umi Rei.

aku yang tak mampu lagi mendengarkan perdebatan antara anak dan Ibu itu kini tertatih berlari kerumah Miftah yang memang tetangga Rei. aku tak dapat membendung air mataku, aku tak dapat menahan nya sendiri hatiku sakit sekali.

"Mif...Miftahh..," panggil ku. Miftah segera membukakan pintu.

"Ada apa?" tanyanya dengan wajah khawatir.

"tolong antarkan aku pulang" ucapku, yang sudah terbata-bata karena airmata yang terus saja berjatuhan.

"tapi ke--?"

"please.." ucapku memohon, Miftah yang sudah tidak tega melihatku segera bergegas mengeluarkan motor dan mengantarkan ku pulang. Di sepanjang jalan aku tak bersuara, air mataku terus saja mengalir. Angin malam berhembus kencang, dingin menusuk kesetiap mili kulitku, dadaku sesak, tiba-tiba kepalaku pusing dengan semua masalah yang tak dapat ku telan bulat-bulat.

"Mau cerita dulu?" tanya Miftah saat sudah berada di depan rumah.

"pulanglah, nanti akan ku telpon. Makasih Mif.." lirihku, aku masuk tanpa menunggu jawaban dari Miftah, aku ingin cepat cepat berlari masuk kedalam kamarku, aku ingin berbaring, menangis di bawah selimut dan segera mengubur semua perihku. 

Ya Tuhan untuk pertama kalinya aku di hinakan seperti ini. Untuk pertama kalinya aku berhadapan dengan orang yang mengagungkan tahta seperti Ibu nya Rei haruskah aku mengalah? haruskah aku  berhenti berjuang untuk cinta dalam diamku? haruskah tahta lebih berkuasa dari pada cinta? ahhh aku benar-benar tidak dapat mencerna semuanya begitu saja, hatiku sungguh hancur berkali-kali lipat.

"Rain ada tamu.." panggil kakak ku, kulihat dari balik jendela kamar. Rei yang sudah berdiri di depan pagar rumah. aku menatapnya sendu linangan air mata terus saja berjatuhan, aku mencoba mengenyahkan perasaan ku berulang kali, aku tak siap bertemu dirinya untuk saat ini. aku menghampiri kakak ku memohon kepadanya untuk mengatakan aku tidak ingin menemui siapapun, aku ingin sendiri dan kakak ku menyampaikan pesan itu kepada Rei saat itu kulihat Rei tertunduk dengan exspresi kecewa, aku tak bermaksud mengabaikannya namun aku tak sanggup untuk menemuinya.

Jam silih berganti detik demi detik terlewati, hari sudah larut namun Rei tetap berdiri  tak mau pergi, hujan kini jatuh kebumi namun ia tetap setia berdiri. demi apapun aku hancur, hatiku sakit sekali, aku ingin berlari keluar menemuinya dan mengatakan bahwa aku mencintainya, Namun ego ku tetap lebih besar dan merajalelah akhirnya aku lelah dan terlelap aku meninggalkan Rei sendiri diluar sana di guyur derasnya hujan dengan rasa bersalah. Tidak, bukan Rei yang salah tapi Ibu nya lah, Ibu nya yang tak memberikan restu itu lalu aku bisa apa? bagaimana pun aku tak ingin Rei kehilangan surga nya, aku tak ingin Rei kehilangan Ridha dari Ibunya aku tak ingin Rei tidak bahagia.

*****

"Titipan.." selembar kertas kini di berikan kakak ku kepada ku "lain kali kalau ada masalah jangan lari, kasian dia semalaman tidak tidur dan kehujanan" ucap kakak ku, hatiku berdetak kembali sakit, Ya aku jahat sekali aku tega membiarkan dirinya sendiri diluar sana semalaman. Maafkan aku Rei, rasa sakit ini menghalangi rasa peduli ku kepada mu, menggelegar nya suara Ibu mu masih terngiang jelas menyakiti telinga ku. Maafkan aku Rei disini aku juga terluka dan mungkin sangat terluka, jika kamu hancur aku juga sangat hancur, bahkan lebih hancur. aku mencintai mu dalam diam, kutitipkan namamu dalam doa namun kenyataan ini takdirnya. Aku yakin dan sangat yakin, Allah bahkan mempersiapkan kebahagiaan itu lebih dari yang kita minta.Walau kita tidak bersama namun aku ingin kamu bahagia.

"Allah tidak mengabulkan doa mu bukan berarti Allah tidak menyayangi mu, ada kebahagiaan yang luar biasa sedang Allah persiapkan untukmu di luar sana"

happy reading🌹

Dalam Diam ku ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang