sembilan

292 30 0
                                    

"what? Bagaimana bisa?" Teriakku sedikit frustasi saat keluarga besar berkata akan menjodohkan ku dengan Kak Rangga. Kulihat Kak Rangga yang hanya duduk memperhatikan ku. Mama menatapku dengan tatapan marah begitupun saudara-saudara ku.

"Apa alasannya kamu menolak? Belum siap? Belum bisa move on? Mau sampe kapan? Sampe kami semua udah enggak ada? Iya?" Ucap kakak perempuan ku. Aku diam, air mata ku tanpa izin jatuh. Aku bukan tak mau menikah tapi aku takut kejadian waktu itu terulang kembali dan untuk hidup dengan kak Rangga aku tak mau, aku tak mencintai nya, bagiku Rangga sudah ku anggap kakak dan bagaimana mungkin seorang kakak menikah dengan adiknya. Oh Ya Tuhan tolonglah hamba mu ini. Hamba tak ingin terjebak di dalam situasi ini.

"Maaf kak, boleh Rangga bicara sama Rain sebentar?" Tanyanya. Kakak ku mengangguk lalu aku mengikuti Kak Rangga keluar.
****

"Apa yang membuat mu menolak?" Tanya kak Rangga. Wajahnya terlihat santai. "Kamu gak mau hidup dengan ku?" Lanjutnya lagi. "Atau ada laki-laki yang sudah kamu cintai?"

Aku diam enggan menjawab, aku hanya menundukkan pandangan ku.

"Ayo masuk, kita katakan bahwa kita berdua tidak ingin di jodohkan" ucapnya. Aku menatap kak Rangga.

"Benarkah?" Tanyaku sedikit lega. Kak Rangga mengangguk mantap.

"Ada wanita yang sudah ku cintai sejak lama, namun dia tidak ingin hidup bersama ku. Dan kini aku harus belajar ikhlas, cinta bukan berarti harus memiliki. Cinta harusnya mendatangkan bahagia bukannya luka, jika aku memaksanya untuk apa? Karena semua itu akan membuatnya terluka dan menderita saja" ucapnya lalu pergi meninggalkan diriku yang masih termenung sendiri.
.

Apakah aku bersalah jika menolak? Apakah aku tak berhak menentukan jalan hidup ku sendiri? Bukankah setiap orang punya hak menjadi jendral bagi perjalanan hidupnya sendiri. Juga berhak menjadi pejuang untuk merebut takdir terbaik bagi hidupnya sendiri. Lalu mengapa tidak ada yang mengerti?

🌸🌸🌸

"Mama itu malu sama Om Basari dan Tante Ika" kata mama. Aku yang berada di luar mengurungkan niat untuk masuk saat ku lihat mama sedang berbicara kepada saudara-saudara ku."mereka sudah terlalu banyak membantu kita" lirihnya lagi. Deg, bantu? Membantu apa? Bukankah pertemuan pertama dengan keluarga Om Basari kembali  itu terjadi saat lamaran Tia, apa ada hal yang tidak ku ketahui selama ini? Tapi mengapa semua orang merahasiakan nya dari ku? Alasannya apa?

"Nanti jika mama pergi, adik mu akan selalu nyusahin kalian, coba aja dia mau nikah sama Rangga mungkin dia gak akan jadi beban kalian" ucap mama lagi. Ku dengar suara mama yang sedikit serak. Ya aku tau usaha mama sedang tidak bagus dan bahkan bangkrut lalu apa dengan cara menikahkan ku suatu jalan agar usaha mama kembali berdiri? Apa aku adalah alasan negosiasi antara mama dan Om Basari? Setega itukah mama? Apa tak ada satupun manusia di bumi ini yang mengerti apa maunya aku dan memikirkan sedikit kebahagiaan ku.

"Apa jaminan itu memang harus dengan cara menikahkan rain?" Tanya kakak perempuan ku.

"Rangga sangat ingin berdampingan dengan adik mu" ucapnya, ku lihat mama menangis. Hatiku sakit saat perempuan yang kucintai menjatuhkan air mata nya. Apakah aku sebab kesedihan mama? Apakah aku sebuah dalang masalah untuk mama? Apa aku yang menjadi penghalang mama untuk bahagia? Maaf ma aku selalu menyusahkan mu.

******

Kuamati kendaraan demi kendaraan yang melintasi jalan raya. Malam semakin beranjak. Namun, manusia-manusia masih berjalan hilir dan mudik. Terlihat masih amat ramai. Namun entah kenapa hatiku terasa amat sepi, dingin dan beku. Hidup memang perlu spasi. Bukannya kita harus memulai lembaran baru sebelum meneruskan membaca? Namun, spasi itu tidak boleh terlampau jauh. Hanya sekedar mengistirahatkan hati dan kepenatan, lalu kembali berjalan. Bukan kah hidup hanya sekali? Sehingga, rasanya aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku untuk meratap-ratap. Seperti sekarang, entah mengapa serpihan demi serpihan kenangan bermunculan, berdesakan, membanjiri memori hingga memenuhi ruang otakku. Habibi yang meninggalkan ku dan menikahi sahabat ku hingga kak Taqwa yang pergi membawa separuh hatiku. rasanya hati ini sudah tertutup rapat untuk siapapun. Aku lelah patah hati dan di tinggalkan. Sebenarnya yang salah bukan Habibi, kak Taqwa, dan kak Rangga tapi diriku sendiri. Akulah yang harusnya bertanggung jawab terhadap diriku sendiri. Aku lah yang memegang kendali. Hidupku adalah bahteraku. Kenapa harus ku koyak dengan kenangan masa lalu?.

"Lo gapapa?" Tanya Delvi hati-hati. Ia menatapku penuh perhatian. Lima belas menit yang lalu aku meminta Delvi untuk datang menemui ku, menemaniku untuk duduk disini.

Aku mengangguk mantap. "Aku hanya sedikit lelah dan rindu tertawa" ucapku. Terus terang, sampai detik ini aku memang belum percaya betul atas kenyataan yang ku hadapi. Tapi ini adalah kenyataan. Suka tidak suka, mau tidak mau, aku harus menelannya bulat-bulat. Sambil mencari-cari apa hikmah dari kejadian ini? Mengapa kejadian ini harus mampir dalam hidupku? Menyapaku tanpa ampun? Mengapa Tuhan mengizinkan kejadian ini jatuh bertemu denganku? Namun walau demikian seorang anak tetaplah butuh orangtua. Seorang anak tetaplah ingin mereguk kasih dan belaian orangtua. Hati kecil ku berkata aku tak ingin mama terluka, aku tak ingin menjadi beban untuk mama biarlah aku yang akan mengalah. Aku kembali ke rumah, dengan hati lapang, mengurai kata maaf untuk mama. Dengan jiwa penuh harap aku coba menerima kenyataan dan akhirnya sudah ku putuskan.

"Ma..., Aku bersedia di jodohkan dengan kak Rangga" ucapku. Mama yang baru saja menyelesaikan sholat mengurungkan niat untuk membuka mukenah nya, ia menatapku dengan exspresi sedikit kaget. Aku duduk bersimpuh di dekatnya lalu ku peluk erat tubuhnya yang sudah mulai menua. Saat itu aku benar-benar sudah tidak perduli dengan kelanjutan hidup ku, aku tak mau tau bagaimana kehidupan ku kedepannya yang aku tau dan aku mau aku hanya ingin mama bahagia.

🌸🌸🌸

Kak Rangga satu keluarga datang kerumah untuk melakukan silaturahmi kembali setelah mama mengabarkan akan persetujuan ku. Aku menarik napas dalam-dalam. Berusaha memaksimalkan diriku agar tidak terlihat bahwa aku tak menyukai perjodohan ini, di hadapan kedua orang tua kak Rangga aku memaksakan seulas senyum yang terasa hambar. Aku tak tau bagaimana pernikahan itu terjadi tanpa ada sedikitpun perasaan ku terhadap kak Rangga. Setelah basa-basi akhirnya kedua orangtua kak Rangga mulai berbicara serius tentang mahar, mereka menanyai ku. Aku gugup, bahkan sebelumnya aku tak memikirkan mahar apa yang akan ku pinta untuk kak Rangga. Oh rain aku tau kamu tidak berminat untuk menikah namun setidaknya kamu harus memikirkan sebuah alasan yang tepat untuk pura-pura bahagia.

"Seperangkat alat sholat" ucapku.


"Hidupku yang berlika-liku, naik turun, terbawa arus, terhempas oleh ombak, oh Tuhan aku butuh pegangan yang kokoh. Yang datang lalu tak akan pernah pergi. Aku lelah di tinggalkan bolehkah sekali saja kirim seseorang untuk tetap tinggal?"

Happy reading 💕

Dalam Diam ku ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang