"Minggu besok lo ada acara?"
"Gak,"
"Gue mau muncak sama anak-anak Pecinta Alam, lo mau ikut?" tawarnya.
"Kemana?"
"Gue ke rumah lo sekarang,"
"Tau alamat rumah gue?"
"Yang gue gak tau kan cuma nomor hp lo," ujarnya sembari tertawa.
"Sekarang lo udah tau,"
"Iya, gue berangkat,"
"Oke."
Nada panggilan terputus begitu saja. Entah dari mana Kenan mengetahui nomor ponselku, yang jelas sejak 2 minggu yang lalu ia sering menelponku hampir setiap hari di jam yang sama. Jadi, aku tahu jadwal ia menghubungiku.
Kenan tak pernah kehabisan kata-kata saat berbicara. Selalu saja ada bahasan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibahas. Obrolan kami di perpustakaan tempo hari itu mengantarkanku untuk mengenal lebih dalam tentang Kenan.
Tak ada siapa pun di rumah, orangtuaku sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sendiri tak berarti sepi, karena terkadang ada beberapa orang yang merasa sepi saat ia tak sendiri. Mereka adalah orang yang tak menyimpan Tuhan dalam hatinya.
Suara klakson motor menyusup dari ventilasi jendela kamarku. Kenan sudah menunggu di depan gerbang. Aku berlari menuruni satu persatu anak tangga dan membuka gerbang rumah.
"Lo sendirian?"
Aku mengangguk.
"Gue gak masuk,"
"Loh kenapa?" aku mengangkat satu alisku.
"Gak papa, mending lo ikut gue," ajaknya.
"Oke, tapi gue masih gini," keluhku.
Kenan menatapku dari atas sampai bawah.
"Gak perlu cantik-cantik, lo pergi bukan sama siapa-siapa,"
"Lo kan temen gue,"
Kenan diam. Yang aku tangkap dari ekspresinya, ia seperti kesal atas sikapku yang bertele-tele.
Tanpa pikir panjang lagi, aku mengunci gerbang rumah dan menaiki motor Kenan. Ia menyerahkan helm untuk kupakai, namun aku hanya menaruhnya dalam pangkuan.
"Gue kasih helm buat dipake," ketusnya.
Aku tak bergeming dan mengacuhkan setiap perkataannya. Kenan turun dari motor dan mengambil helm itu dari pangkuanku.
"Bilang kalo gak bisa," ujarnya sambil memakaikan helm itu di kepalaku.
"Gue bisa, lagian mau kemana sih, Ken?"
"Ke tempat dimana orang-orang kayak lo gak pernah sentuh," jawab Kenan sambil menstater motornya.
Aku tak membalas ucapannya. Akan sangat sulit beradu argumen dengan orang sepertinya. Dalam perjalanan, tak ada pembicaraan antara kami. Sampai akhirnya, kami berhenti di pinggir jalan dekat rel kereta. Ia mengajakku lebih dekat dengan rel kereta yang sudah rusak dan tak terpakai.
"Hey! Ada kak Kenan!" teriak salah seorang anak kecil kepada teman-teman sebayanya.
Aku melirik Kenan sekilas, tampak ia tengah tersenyum kepada bocah-bocah yang kini tengah berlarian ke arahnya. Kenan berjongkok dan anak-anak itu memeluk Kenan secara bersamaan. Mungkin sekitar 6 orang anak.
"Kak Kenan, kemana aja?" tanya salah seorang anak laki-laki yang memegang botol air mineral berisikan batu dan pasir.
"Iya, Kak, kita kan pengen belajar lagi sama kakak," sahut anak perempuan berusia sekitar 7 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
More
Teen Fiction"Za, lo tahu, semesta itu ajaib. Sejauh apapun lo sama gue dipisahkan Tuhan, jika masih berada dalam benang takdir yang sama, kita pasti ketemu lagi, contohnya sekarang." Aku hanya tersenyum. "Za, lo tahu, semua orang punya klimaks dan antiklimaks d...