Ruang Hampa

16 0 0
                                    

Zaara mendudukan tubuhnya pada salah satu kursi di perpustakaan. Melemaskan sendi-sendinya yang tegang dikejar 40 soal matematika yang harus ia selesaikan dalam waktu dua jam. Cukup membuang waktu jika tetap menggunakan rumus umum tanpa ada kekreatifan mencari rumus cepat tepat, karena masalah hitung menghitung Zaara bukan ahlinya, dari sanalah ia enggan memilih untuk masuk kelas IPA.

Air mineral yang sempat ia beli dari koperasi sebelum UN dimulai belum terteguk sama sekali. Menghafal banyak rumus memiliki kekuatan untuknya tidak merasa haus. Sembari menunggu Kenan menyelesaikan sesi terakhir UN, Zaara membuka kembali catatan kecil di note-nya yang berisi kumpulan rumus matematika yang sengaja ia rangkum dalam satu malam tersebut untuk menyesuaikan jawaban yang telah ia kirimkan.

Banyak sekali jawaban yang membuat Zaara harus menghembuskan nafasnya berat dan menghentakkan kakinya kesal. Kira-kira hanya dua puluh persen jawaban yang sesuai dengan rumus yang diberikan guru pembimbing. Itulah mengapa metode hafalan dan sistem kebut semalam sangat tidak dianjurkan.

"Gak usah khawatir sama penilaian manusia, penilaian Tuhan itu yang paling utama." Tiba-tiba Cica mendudukan tubuhnya bersebrangan dengan Zaara.

Zaara menutup note-nya dan memasukkannya kembali ke dalam ransel.

"Tumben quote-nya agamis?" sindir Zaara.

"Makanya, lo gaul sama anak-anak agama!" balas Cica setengah membanggakan diri.

"Gue ketinggalan info apa lagi, nih?"

"Gue udah putus sama Yuno," jawab Cica dengan malas. Ia menghembuskan nafasnya berat. "Karena game."

Zaara yang semula tidak terlalu memperhatikan kini membulatkan matanya, menunggu kelanjutan cerita Cica namun Cica sama sekali tidak seperti ingin membahas panjang lebar.

"It's ok, Ca. You'll fine." Zaara tersenyum ke arah Cica berharap senyumannya itu mampu menjadi penawar hati Cica.

"Sekarang gue paham arti dari 'laki-laki dengan keputusan sedangkan wanita dengan kepastian'."

Zaara hanya menangguk mengiyakan, walau pun sebenarnya ia sendiri tidak terlalu mengerti makna tersirat dari setiap kata-kata Cica. Zaara masih belum paham, mengapa sebuah game bisa merusak hubungan manusia? Apakah ini masalah prioritas? Hanya saja Zaara tidak ingin menambah keruwetan hati Cica yang mungkin saat ini tengah sensitif membahas masalah Yuno.

"Lo tau, anak kelas agama yang namanya Fahmi? Ketua ROHIS. Satu angkatan," ujar Cica merandom topik pembicaraan.

Zaara mengangguk, "Dulu OSIS juga. Wae?"

Air wajah Cica berubah drastis. Mengulum senyumnya yang membuat Zaara mengangkat satu alisnya. "Kenapa sih?"

"Gue lagi deket."

Zaara tersedak air mineral yang tengah ia teguk. Merasa terkejut atas pengakuan gadis di seberangnya itu. Zaara menepuk-nepuk dadanya pelan agar bisa kembali bernafas normal.

"Ternyata Fahmi bukan gay!" teriak Zaara spontan setelah batuknya mereda.

Untung saja di ruangan perpustakaan itu tidak ada manusia lain selain mereka berdua. Jika saja Zaara bukan sahabatnya, mungkin saat ini Cica sudah melepar buku tebal di hadapannya ke mulut Zaara.

MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang