Di Ambang Pintu

15 1 0
                                    

Jemariku tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk meja. Tatapanku lurus ke depan. Kosong. Siapa lagi yang dapat membuatku seperti ini? Ya, tentu saja! Kenan.

Sudah seminggu sejak Kenan selesai dioperasi, ia belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun. Bangun dari alam bawah sadarnya yang terlalu hebat mengajaknya berfantasi di dunia mimpi.

Tadi pagi aku bersikeras untuk tidak sekolah karena ingin menjaga Kenan. Tapi, sekeras apapun keinginanku, jika Bunda melarang, aku tidak bisa menolak sedikit pun.

Pada akhirnya akan seperti ini, tidak fokus belajar. Aku tidak bisa mencerna apa yang guru terangkan. Jika dipikir-pikir, percuma saja aku sekolah!

Kakak Yura sudah kembali aktif bersekolah. Seminggu ini juga Kak Alder kerap mengantar dan menjemputku sekolah meski aku bersikeras menolak tawarannya. Apakah aku bisa mengatakan bahwa ini adalah sebuah bentuk pendekatan?

Kemarin malam, Kak Alder mengajakku pergi menonton film action keluaran terbaru yang baru saja ditayangkan di bioskop. Tapi aku menolaknya. Bukan hanya karena aku ingin menjaga Kenan, tapi ... aku memang tidak suka film action.

Tepat tiga hari yang lalu pun, Kak Alder membelikanku buku Kumpulan Puisi karya Chairil Anwar. Lumayan tebal dan aku suka. Hanya saja, permainan apa yang sedang direncanakannya? Bukankah ia tahu bahwa saat ini aku sedang berteman duka? Atau maksudnya dia sengaja menghiburku dengan cara seperti ini? Tapi sungguh, kesedihan ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diobati.

Sebenarnya aku risih dengan sikap Kak Alder akhir-akhir ini. Terlalu dekat untuk waktu yang singkat. Kak Alder memiliki banyak penggemar dan aku takut menjadi salah satu orang korban pembullyan penggemarnya seperti yang tertulis di novel yang kubaca beberapa minggu lalu.

Tuhan, untuk saat ini aku hanya ingin bersama Kenan. Menemani dan  memberikan semangat dengan menggenggam jemari dinginnya.  Barangkali dengan begitu, ada sebuah keajaiban yang menyadarkannya bahwa ia harus bangun dari fantasinya.

"Gimana Za menurut lo?" Yura yang menyenggol sebelah lenganku membuyarkan pikiranku.

"Euh? Apaan?" tanyaku linglung.

"Zaara! Lo dari tadi gak dengerin gue?!" teriaknya tertahan.

"S-sorry, Yur," keluhku. "Ck, kayaknya gue harus beli minum dulu."

Aku bergegas bangkit menuju kantin sementara Yura mengekoriku.

"Lo kenapa sih, Za? Akhir-akhir ini gue liat lo itu lemes, kurang semangat, bahkan sekarang lo pucet. Lo sakit?" tanya Yura.

"Gue gak papa," jawabku singkat sembari membuka minuman kaleng penambah ion.

"Beneran? Apa jangan-jangan kakak gue nyakitin lo, ya?" tuduhnya.

"Nggak,"

"Kakak gue gak anterin lo pulang lagi?"

"Anterin, kok,"

"Atau kakak gue gak perhatian lagi sama lo?"

"Yur, ini bukan masalah kakak lo. Lagipula kakak lo kan bukan siapa-siapa gue,"

"Tapi sebentar lagi dia bakal jadi siapa-siapanya lo,"

Aku mengernyitkan dahiku, "Maksudnya?"

"Ck,nanti juga tau sendiri. Nah, terus kalo bukan karena kakak gue, karena apa?"

"Yur, gue gak papa," tegasku.

"Ayolah cerita sama gue. Gue tau lo lagi gak baik-baik aja,"

"Beneran, Yur. Gue baik-baik aja. Justru kalo lo terus introgasi gue, gue bakal gak baik-baik aja,"

MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang