Setelah seharian penuh berkutat dengan buku-buku puisi untuk referensi makalah bahasa Indonesia akhir semester, akhirnya aku mengajak Kenan untuk mengantarku pergi ke toko buah. Ya, Kenan sudah kembali sekolah dan sekarang ia membantu pamannya mengelola bengkel yang ternyata tak jauh dari rumahku.
Sebelumnya, Bunda menyuruhku membeli beberapa jenis buah untuk persediaan di kulkas. Sesampainya di toko buah, aku langsung menyambar tumpukan buah mangga dan mulai memilih-milih.
"Ken, bantu gue pilihin buah napa!" pintaku.
"Ogah, udah untung gua jadi tukang ojek lo," jawabnya.
"Oh, jadi lo gak ikhlas anter gue ke sini?"
"Kalo gua gak ikhlas, ngapain juga sampe sekarang gua masih di sini? Lagian mana ngerti gua buah yang bagus yang kayak gimana,"
"Ish." Aku menghentakkan kakiku kesal.
"Iya deh iya," ucap Kenan beberapa detik kemudian.
Raut wajahku berubah senang. Aku menyerahkan beberapa kantong kresek warna putih pada Kenan.
"Nih, gue mau pilih buah lain dulu ke ujung sana. Tugas lo pilih mangga yang bagus, yang gak busuk. Nanti kalo udah, lo miscall gue aja, oke?"
"Ck, iya, bawel!"
Aku pergi meninggalkan Kenan yang sudah mengerti arahanku. Aku mencari jeruk, apel, semangka, dan buah kesukaanku, manggis. Si buah kejujuran.
10 menit setelahnya, ponselku bergetar. Miscall dari Kenan. Buru-buru kutemui Kenan di tempat semula.
"Udah?" tanyaku.
"Nih!" Ia menyerahkan sekantung penuh buah mangga. Lantas kulihat hasil kerjanya memilah dan memilih buah.
"Kenaaaan!" teriakku kesal sambil menghentakkan kaki berkali-kali.
"Kenapa lagi, Za?"
"Lo kenapa pilih mangga yang masih mentah?! Mana masih pada keras semua lagi!" Aku memajukan bibirku ke depan.
"Loh, kan tadi lo bilang jangan yang busuk. Buah yang gak busuk ya ... yang masih mentah," jelasnya tanpa ada raut wajah bersalah.
"Ya nggak yang mentah juga, Kenan. Ish!"
"Dibilangin dari tadi juga, gua gak ngerti, lo maksa,"
"Iya, iya. Cewek emang selalu salah. Lagian ini Abangnya lagi, kenapa diem-diem bae? Kenapa gak dikasih tau sih, Bang?"
"Abang kira ya itu buat Neng yang lagi ngidam," jawab penjual mangga dengan polosnya.
Aku dan Kenan saling tatap lalu seketika kesalku berubah menjadi tawa.
"Bang, ini kita masih pake baju sekolah, loh."
"Yeh, Neng. Zaman sekarang hamil tuh gak pandang usia. Anak SD aja udah pada hamil, apalagi yang udah SMA," jelasnya.
"Ironi ya, Bang? Udah lah Bang, pilihin lagi sama Abang buah yang bagus. Yang mateng ya, Bang. Jangan yang mentah," ucapku penuh penekanan.
Kenan hanya mendelik tanpa berkata.
"Jadi, totalnya berapa?"
"Dua ratus ribu, Neng."
Aku menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan.
"Mari, Bang,"
"Mari."
Aku keluar dari area toko buah dengan menjinjing empat kantong kresek yang sudah dipenuhi buah. Aku melihat ke sekeliling, barangkali ada barang yang ingin kubeli lagi sebelum pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
More
Teen Fiction"Za, lo tahu, semesta itu ajaib. Sejauh apapun lo sama gue dipisahkan Tuhan, jika masih berada dalam benang takdir yang sama, kita pasti ketemu lagi, contohnya sekarang." Aku hanya tersenyum. "Za, lo tahu, semua orang punya klimaks dan antiklimaks d...