Hanya Perlu Waktu

9 0 0
                                    

"Beres, Ken?"


Zaara menarik kursi di sisi kiri Kenan dan mendudukan tubuhnya di sana. Ia merasa seluruh sendinya lepas setelah mengejar waktu yang terus saja mengajaknya berlari.

Kenan tengah fokus ke laptop di hadapannya. Air mineral yang Zaara belikan beberapa jam lalu masih utuh. Bahkan sepertinya, air itu sama sekali tidak Kenan sentuh.

"Gimana, Za?" Kenan menggeser laptop di depannya agar berpindah tepat ke hadapan Zaara.

Zaara memicingkan matanya. Menatap layar laptop yang berisi lembar kerja proposalnya itu. Ya, itulah Zaara yang kurang pandai mengatur waktu sehingga dengan terpaksa membiarkan orang lain mengorbankan waktunya demi dirinya.

Kenan menawarkan diri untuk membantu Zaara menyelesaikan proposal yang diminta oleh Pak Toro selagi ia mengambil beberapa adegan dalam penggarapan video Seni dan menemui Yura di bandara.

Setelah mengambil beberapa take bersama Dimas yang memakan waktu satu jam, Zaara meminta izin kepada Retno untuk pergi ke bandara menemui Yura. Tidak lupa, ia juga menyerahkan tugas proposal itu kepada Kenan yang dibantu oleh Retno dan Alan.

Setidaknya, Zaara bisa menepati permohonan Yura untuk bisa mengantarnya ke bandara. Untuk terakhir kalinya.

"Gue kira cukup, Ken. Thanks!"

Kenan hanya tersenyum lega kemudian beralih meneguk air mineral yang sedari tadi menjadi saksi perjuangan Kenan menyelesaikan proposal itu. Zaara melihat sekeliling ruangan tersebut, sepi. Tak ada manusia lain selain dirinya dan Kenan. Alan dan Retno?

"Udah gua suruh pulang," ucap Kenan datar seolah tahu apa yang ada di pikiran Zaara.

"Jadi, lo-"

"Hm," gumam Kenan cepat memotong. "Kasian."

"Maaf ya, Ken," ujar Zaara penuh rasa bersalah.

"Iya. Gimana? Ketemu sama temen lo?" tanya Kenan mengalihkan pembicaraan.

"Ketemu."

Zaara berusaha mencari sesuatu dalam ransel yang sedari tadi memeluk mesra punggungnya.

"Buat lo," sambung Zaara sembari menyerahkan bungkusan kado berukuran kecil.

"Apa?"

Kenan membuka bungkusan kecil itu. Ia memicingkan mata. "Sejak kapan lo jadi stalker gua?"

"Bukan gue. Itu dari Yura."

(Flashback On)

"Yura!"

Zaara berlari sekencang mungkin ke arah Yura dan keluarganya yang hendak meninggalkan bandara. Yura membalikkan tubuhnya. Terpancar senyuman dari wajah manisnya.

"Gue kira lo gak bakal dateng," ujarnya sembari memeluk Zaara erat.

"Gue gak akan pernah ngecewain lo."

Yura semakin memeluk Zaara erat. Sesuatu yang hangat merembes ke dalam seragam putih Zaara, tepatnya di bagian bahu. Punggung Yura bergetar, menandakan ia sedang menangis sekarang. Zaara hanya bisa mengelus punggungnya yang terbalut jaket.

MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang