Menghilang

15 1 0
                                    

Udara yang semakin dingin, yang mendemo untuk bisa masuk menyentuh kulitku sudah tak bisa kutahan lagi dengan tebalnya jaket yang melekat. Syal, sarung tangan, kaos kaki dan sepatu seakan-akan menanggalkan apa yang seharusnya mereka lindungi.

Aku terus meniupkan nafas hangatku pada kedua telapak tangan. Terkadang, aku juga memeluk tubuhku sendiri selama perjalanan menuju puncak.

"Usahakan tetap bergerak agar tubuh kalian tidak mengalami hipotermia!" teriak kakak pembina dari depan barisan.

Yuno senantiasa ada di belakang Cica karena ia mempunyai tanggung jawab penuh atas keputusannya mengajak Cica ikut mendaki. Sementara Roy ada di barisan paling depan bersama kak Alder, sang ketua Pecinta Alam, menggantikan posisi Yuno. Bagaimana denganku?

Aku berada di barisan kedua terakhir. Sendiri. Orang yang membawaku ke tempat sedingin ini entah kemana perginya. Disaat semua orang bisa mengalahkan dinginnya alam dengan hangatnya berbicara selama perjalanan, saat itulah aku mulai merasa kakiku sedikit terganggu.

"Aduh!" pekikku. Aku mendadak ambruk ke tanah. Kakiku mati rasa yang beberapa menit kemudian berubah menjadi sangat menyakitkan.

Barisan paling belakang mengerumuniku, sedangkan orang-orang yang berada tepat di depanku ikut berlutut menanyakan keadaanku. Aku tidak cepat-cepat menjawab semua pertanyaan mereka karena pikiranku terus terfokus pada rasa ngilu pada kakiku, entah tulangku.

"Aaa! Jangan disentuh!" teriakku ketika seseorang perempuan berusaha menjamah kaki kiriku. Sungguh ini menyakitkan!

Roy, Cica, dan Yuno menerobos kerumunan.

"Za, lo kenapa? Apa yang bisa gue bantu? Tiupin? Usapin? Pijitin?" Cica menampakkan wajah khawatir, sementara aku hanya bisa menggeleng sambil memejamkan mata menahan nyeri.

Yuno kemudian mengeluarkan telepon seluler dari saku celananya dan setelah mengetik sesuatu, barulah ia tempelkan ke dekat telinga.

"Kak, ini ada salah satu anggota yang sakit," lapor Yuno. Yuno terdiam sesaat seperti tengah mendengarkan arahan.

"Oke, siap." Yuno menutup telponnya. "Untuk barisan ketiga dan terakhir,  silahkan tetap melanjutkan perjalanan. Untuk masalah ini sudah ada tim yang menuju ke sini," lanjutnya.

Orang-orang yang tadi mengerumuniku kini beranjak pergi. Tinggal Cica, Yuno, dan juga Roy yang masih menunggu kedatangan tim medis Pecinta Alam untuk menanganiku.

"Si Kenan kemana ini? Gadisnya sakit malah tak ada!" gerutu Roy.

"Nah, ini nih. Gua emang ragu kalo misalnya dia bawa temen, apalagi cewek. Dia kan suka ngilang tiba-tiba, terus datang lagi lewat pintu doraemon entah dari mana," sahut Yuno.

"Aku coba telpon,"

"Coba, Roy."

Roy mengeluarkan ponsel dari dalam ransel yang ada di pangkuannya. Lalu, menempelkannya tepat di telinga kanan.

"Tak aktif, No," lirih Roy.

"Emang bener-bener tuh bocah gak ada tanggungjawabnya. Mending kalo yang dia bawa itu cowok, lah ini kan ... Ck!"

"Nanti kita omel tuh anak, Bang! Kita kasih dia bogem!" ujar Roy sambil meninjukan kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya.

"Jangan bogem doang, kita kasih dia semangka biar dia kapok!" dukung Yuno.

"Nah betul itu, biar kocar-kacir tuh anak!" Keduanya terbahak.

"Woy! Bisa diem gak?! Bacot mulu lo berdua!" teriak Cica yang berhasil membuat kedua pria di hadapannya itu bungkam. "Mending lo sekarang telpon Tim Medis buat cepet-cepet ke sini, lelet banget sih!" lanjutnya menatap Yuno.

MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang