Cerita yang Tak Selesai

21 1 0
                                    

(Zaara's POV)

Aku tidak menghiraukan tatapan heran dari para penghuni Rumah Sakit yang melihatku berlari sambil menangis. Otakku tidak bisa berjalan secara normal, bahkan entah berapa banyak orang yang aku tabrak hanya karena ingin segera  sampai ke ruangan Kenan.

Entah berapa banyak pula tetes air mata yang berhasil mencium lantai Rumah Sakit. Berkali-kali kuseka air mataku yang membuat pandanganku sedikit kabur. Satu masalah selesai, mengapa seribu masalah baru malah  bermunculan? Nafasku terengah-engah. Rasanya lelah. Lelah dihujam dengan berbagai macam masalah.

"Sus, pasien di ruangan ini kemana?" tanyaku pada Suster yang sedang membereskan selimut ketika kudapati Kenan tidak ada di pembaringannya. Begitu pun Pak Kun.

"Maaf sebelumnya, Mbak ini siapanya?"

"S-saya keluarganya, Sus,"

"Oh, pasien di ruangan ini baru saja dipindahkan ke ruang operasi," tuturnya.

Ruang operasi?! Batinku tersentak.

"Ruangannya di mana, Sus?" tanyaku tak sabar.

"Mari saya antar," ajaknya.

Aku membuntuti Suster tersebut berjalan. Rasanya ingin menendang Suster di hadapanku ini, mengapa dia jalan lambat sekali?

"Saya hanya bisa mengantar sampai sini, Mbak tinggal lurus saja," jelasnya mengarahkan.

Aku langsung berlari tanpa mengucapkan terimakasih pada Suster lelet itu. Biar saja, jika dia paham, ia akan mengerti.

Selang beberapa menit berlari, akhirnya kulihat sosok perempuan dan laki-laki agak tua duduk berdampingan. Sang perempuan mengusap-usap punggung lelaki yang sedang memijat-mijat pelipisnya sendiri.

"Bunda!" seruku.

Perempuan itu menoleh ke arahku. Terpancar dari matanya yang sudah berair, ada begitu banyak kesedihan yang tertumpuk di sana. Ada apa?

Aku kembali berlari menghampiri Bunda dan Pak Kun.

"Pak, Bun, Kenan dimana? Dia baik-baik aja, 'kan?"

Pertanyaan bodoh yang sama sekali tidak perlu aku tanyakan karena jawaban yang seharusnya tidak perlu aku dengar. Pertanyaan yang hanya bisa membohongi diri sendiri bahwa semua baik-baik saja namun nyatanya tidak.

Bunda yang semula duduk, kini  menghampiriku yang masih berdiri dengan tatapan penuh pengharapan bahwa Bunda akan menjawab, 'Ya sayang, Kenan baik-baik saja.'

Bunda mengelus punggungku. Matanya menyiratkan begitu banyak kesedihan sehingga ia tak kunjung memberikan jawaban.

"Bun, Kenan baik-baik aja, 'kan?" tanyaku mengulang.

Baik Bunda maupun Pak Kun, keduanya tetap bergeming. Menunduk, seakan tidak ada lagi harapan yang bisa dipanjatkan pada Tuhan.

"Paman, Kenan baik-baik aja, 'kan?" tanyaku beralih karena tak kunjung mendapatkan kesaksian.

"Kenan sedang dioperasi," jawab Pak Kun lemah.

Seluruh persendianku rasanya tak mampu menahan rangka tubuhku yang teramat rapuh. Bukan, bukan jawaban ini yang harus aku dengar. Aku terduduk lesu, pandanganku kembali mengabur oleh duka yang tak kunjung berangsur.

Mengapa dunia senang sekali bercanda terhadapku?

"Doakan saja ya sayang," ucap Bunda mencoba menenangkanku dengan mendekapku di pelukannya.

"Kenan sakit apa sih, Bun? Kenapa harus dioperasi segala? Dia udah janji kalo hari ini dia bakal pulang." Aku mencoba menahan isakku dengan menggigit bibir bawahku.

MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang