Zaara mengekori Yura ke perpustakaan. Dari jam pelajaran pertama hingga istirahat, Yura masih menekuk wajahnya di hadapan Zaara. Sesekali Zaara bertanya, ia hanya akan bermonolog.
"Lo kenapa sih, Yur?" Zaara sudah tidak tahan akan Yura yang terus mendiamkannya.
Yura masih bergeming, menyibukkan diri dengan mencari buku-buku seni di rak perpustakaan. Zaara terus membuntutinya hingga ke meja baca. Perlahan Yura membuka lembaran demi lembaran buku yang diperolehnya tanpa menghiraukan Zaara. Zaara menghembuskan nafasnya berat.
"Yur!" Zaara menutup buku yang sedang dibaca Yura.
"Apa sih, Za?!" Yura menggebrak meja di hadapannya.
Semua pasang mata yang sedang fokus membaca tertuju ke arah Yura dan Zaara. Zaara hanya tersenyum canggung mengetahui dirinya dan Yura menjadi pusat perhatian di sana. Berbeda dengan Yura yang masih berapi-api dengan emosinya. Zaara menarik tangan Yura keluar perpustakaan menuju taman di belakang sekolah yang kebetulan sedang sepi. Yura menghempaskan cekalan Zaara di pergelangan tangannya.
"Lo kenapa, Yur? Lo marah sama gue?"
Yura tetap bergeming membelakangi Zaara. Melipat tangannya di atas dada dengan wajah yang tak lagi manis.
"Lo denger gak sih, Yur? Hargain gue dikit dong!"
Yura tersenyum miring mendengar apa yang diucapkan Zaara selang beberapa detik yang lalu.
"Gimana bisa gue hargain orang yang gak pernah ngehargain orang lain?"
"Maksud lo?"
Yura membalikkan tubuhnya menghadap Zaara. Ia masih dengan senyumannya yang terkesan meremehkan orang yang saat ini tengah berada tepat di hadapannya.
"Emang ya, orang cuek tuh gak pernah peka sama kesalahannya sendiri," ujar Yura melangkah mengitari Zaara.
Zaara hanya diam mencerna apa yang dimaksud oleh teman sebangkunya itu. Ia memutar ulang otaknya untuk menyisir satu persatu perbuatannya yang dianggap salah di mata Yura. Tapi, ia benar-benar tidak bisa menemukan kesalahannya. Otaknya sudah banyak disita untuk memikirkan Kenan.
"Alah, lo gak usah sok mikir kayak gitu dan gak usah pura-pura bego di depan gue," sambung Yura.
"Yur, mendingan lo sekarang kasih tau kesalahan gue apa? Gue bener-bener gak bisa mikir untuk saat ini. Kenan lagi sakit, Yur. Tolong jangan bikin gue tambah pusing," pinta Zaara merasa putus asa untuk mencari celah kesalahannya.
"Oh, jadi Kenan yang bikin lo bego kayak sekarang," kembali Yura menunjukkan senyum miringnya. "Gue gak abis pikir, seberapa pentingnya sih si Kenan sampe-sampe lo tega ninggalin kakak gue yang rela nungguin lo di sekolah sampe malem?"
Pernyataan Yura benar-benar menohoknya. Zaara tidak menyangka jika Alder menunggunya di sekolah hingga malam. Kemarin, ia memang sengaja tidak membalas pesan dari Alder karena ia menyangka Alder sudah pulang mengingat waktu yang sudah terlalu sore.
"G-gue minta maaf, Yur. Gue gak tau ka-"
"Alah, udah deh. Maaf lo gak bakal bisa nyembuhin sakit kakak gue!"
"Sampe sakit? Yaudah nanti pulang sekolah gue ke rumah lo,"
"Terserah!" Yura melengos begitu saja meninggalkan Zaara.
Rasa bersalah menghinggapi diri Zaara. Mengapa ia selalu membuat banyak orang menderita? Mengapa ia selalu membuat banyak orang membencinya? Ia benar-benar kalut dan mengacak rambutnya frustasi. Zaara mendudukkan tubuhnya di bangku taman. Mengedarkan pandangannya menatap langit yang masih terik. Mengapa Tuhan menciptakan sesuatu yang bernama masalah?
KAMU SEDANG MEMBACA
More
Teen Fiction"Za, lo tahu, semesta itu ajaib. Sejauh apapun lo sama gue dipisahkan Tuhan, jika masih berada dalam benang takdir yang sama, kita pasti ketemu lagi, contohnya sekarang." Aku hanya tersenyum. "Za, lo tahu, semua orang punya klimaks dan antiklimaks d...