"Yang gue suruh bawa udah dimasukin semua?" Kenan memastikan.
"Udah,"
"Jaket?"
"Udah, lo gak liat tas gue over banget?"
"Sarung tangan, kaos kaki, syal?"
"Udah, yang lo tulis di chat semalem udah gue masukin," ucapku mulai kesal.
"Udah minta izin orang tua?"
"Udah ish, Kenan!" bentakku.
Kenan tertawa melihatku seperti itu.
"Oke, siap berangkat?"
Aku tak menjawab. Kenan menahan tawanya sambil memberikan helm. Aku dan Kenan berangkat ke lokasi awal pendakian, dimana anak-anak Pecinta Alam berkumpul terlebih dahulu di sana.
Sepanjang perjalanan hanya suara serangga pagi yang mengisi keheningan antara aku dan Kenan. Aku tak berniat berbicara sedikitpun padanya. Sekitar pukul 5 pagi Kenan menjemputku ke rumah. Mungkin karena jarak dari rumahku ke lokasi pendakian cukup jauh, ia menjemputku pagi-pagi buta.
"Lo marah?" tanyanya.
Iyalah, pake nanya segala! batinku.
"Gak,"
"Perempuan itu aneh ya, di hati bilang 'iya', tapi bibir ngomong 'nggak'," sindirnya tepat.
"Tau apa lo tentang gue?"
"Udah berapa kali gue bilang, yang gak gue tau dari lo itu cu-"
"Basi!" potongku.
"Kok lo jadi marah beneran sama gue sih,"
"Dari tadi!"
"Tadi lo bilang nggak,"
Aku diam. Tak berapa lama, Kenan memperlambat laju motornya dan berhenti di pinggir jalan yang sepi. Memang jalan menuju lokasi pendakian adalah jalan yang bisa dikatakan jauh dari pemukiman warga dan ramainya kota.
Kenan turun dari motor sambil melepas helm, kemudian duduk di pinggiran jalan tanpa berkata apapun. Sementara aku masih setia duduk di motor Kenan yang mesinnya tak lagi menyala. Aku melihat ke sekelilingku, sepi. Benar-benar sepi.
"Ken, udah nyampe?" tanyaku karena Kenan tak berbicara sepatah kata pun.
"Belum," singkatnya.
"Terus kenapa mogok di sini? Awas lo kalo apa-apain gue di sini!" ancamku sembari melepas helm.
"Apa-apain apaan?" Kenan mendekatiku.
"Ya ... pokoknya apa-apa aja yang bisa lo lakuin buat apa-apain gue, lo pikir apaan?" gugupku sambil turun dari motornya.
"Lo ngomong apa sih, Za?"
Kenan menggapai pergelangan tanganku saat aku terus menerus berjalan mundur. Aku menjerit keras.
"Kenan lepasin! Tolong! Tolong!"
"Eh, Za, sssttt! Apaan sih, lo!"
Jeritanku semakin keras saat cengkramannya di pergelangan tanganku semakin erat. Dia membekapku dengan pelukannya.
"Za, Za, tenang! Lo apaan sih? Lo kira gue mau ngapain? Gue juga ngotak kali!"
Aku menghetikan jeritanku.
"Hah? Jadi lo gak mau apa-apain gue?" Aku mendongak ke arah wajahnya.
"Gila, lo!" ucapnya sambil melepaskanku dalam dekapannya.
Aku hanya menggaruk kepalaku yang tak gatal. Wajar bukan jika aku bersikap demikian? Aku hanya ingin menjaga kehormatanku, pasalnya zaman sekarang, status teman bisa saja hanya dijadikan sebagai modus untuk memulai tindakan kriminalitas.
KAMU SEDANG MEMBACA
More
Roman pour Adolescents"Za, lo tahu, semesta itu ajaib. Sejauh apapun lo sama gue dipisahkan Tuhan, jika masih berada dalam benang takdir yang sama, kita pasti ketemu lagi, contohnya sekarang." Aku hanya tersenyum. "Za, lo tahu, semua orang punya klimaks dan antiklimaks d...