Kakak Yura

14 1 0
                                    

"Yur, gue nanti nyamper ke rumah lo aja deh. Gue gak ngerti masalah logaritma. Nanti lo ajarin gue. Ya?" Aku menunjukkan deret gigiku dengan semanis-manisnya di hadapan Yura.

"Yur-yar-yur-yur. Emang gue sayur?" Yura memutar bola matanya jengah.

Aku hanya tertawa melihat ekspresi kesalnya karena aku memanggilnya dengan sebutan 'Yur'.

"Iya maaf. Ya boleh ya?"

"Lagian lo pake acara gak masuk kelas segala, abis dari mana?"

"Ck, biasa lah ada urusan sama penjaga perpus,"

"Ngilangin buku apa lagi lo?" celetuk Yura.

"Kumpulan puisi. Tapi bukan ilang sih, gue sengaja gak balikin. Soalnya kalo beli di toko buku, harganya bakal ngelebihin denda yang ditagih sama penjaga perpus. Gue udah tanya-tanya di toko buku, itu buku harganya 150 ribu. Nah, kalo didenda kan cuma gocap. Bayangin, gue untung 100 ribu!" jelasku dengan girang.

"Licik lo." Yura menoyor kepalaku.

Aku hanya tertawa bangga atas apa yang telah aku lakukan. Licik memang. Canduku terhadap karya-karya puisi klasik telah mengkontaminasi akal sehatku.

"Jadi, gimana? Boleh, 'kan?" tanyaku memastikan.

"Nih, alamat gue." Yura memberikan secarik kertas. "Gue duluan ya, gue tunggu!" lanjutnya.

"Assiiaap!"

"Dasar curutnya Atta Halilintar!"

Aku menjulurkan lidahku ke arahnya. Lagi-lagi aku berteman sunyi. Semua siswa telah pergi meninggalkan jejak mereka bersama sepi. Dapat kutebak, Kenan sudah pulang. Sudah 2 minggu ini, Kenan benar-benar menjauhiku. Bukankah sudah aku peringatkan untuk bersikap biasa saja? Entah! Pikiran laki-laki dengan perempuan selalu bertolak belakang.

Jujur, rasa kehilangan pasti ada. Kenan yang selalu siaga, kini tinggal nama. Jangankan untuk pulang bersama, ketika bertemu pun apakah masih berlaku 'tegur sapa' antara aku dan dia? Jawabannya tidak!

Aku hargai usahanya melenyapkan rumor-rumor murahan itu. Tapi, apakah ia tidak bisa menghargai sedikit saja usahaku untuk mempertahankan persahabatan ini? Rasanya sia-sia untuk bersikap biasa saja. Menghindar adalah cara terbaik yang selalu Kenan lakukan agar ia tak bisa bertemu denganku.

Kenan hanya mengirim pesan-pesan singkat melalui WhatsApp untuk menyalurkan kepeduliannya terhadapku.Bahkan sekarang, Kenan tidak pernah mengunjungi rumahku lagi. Ah! Mungkin ini cara terbaik menurutnya. Aku hanya perlu mengikuti alurnya saja.

Aku memesan ojek online dari smartphoneku. Semenjak Kenan menjauhiku, terpaksa aku harus memesan ojek online setiap hari. Aku memandang langit, tersenyum miris di bawah gerimis yang tak lagi manis.

.
.
.
.
.

"Bang, stop Bang!" Kepalaku terbentur helm si pengendara ojek online karena ia menginjak rem motornya secara tiba-tiba.

"Ish! Abang kalem napa!" protesku sedikit berteriak.

"Lagian si Neng bikin kaget, ya Abang refleks injek rem lah!" jawabnya.

"Iya dah seterah. Berapa, Bang?"

"10 rebu,"

"Nih, makasih ya Bang!"

"Iye."

Gerbang setinggi tiga meter menjulang di depan mataku. Rumah Yura terlihat lebih megah daripada rumahku. Beberapa tanaman berwarna hijau tumbuh di depan rumah Yura  yang menjadikan rumahnya terlihat asri di tengah kota.

"Permisi," ujarku saat mendekati gerbang.

"Cari siapa?" seorang Satpam menghampiriku dengan buru-buru.

MoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang