Senja pulih lebih cepat dari dugaan. Ia diperbolehkan pulang setelah beberapa hari. Sesuai dengan janjinya, Lilian mengantarkan Senja ke pemakaman Arga. Di perjalanan, Senja merasa tidak asing dengan jalan yang dilalui.
"Ma, apa Arga dimakamkan di samping makam orangtuanya?" tanya Senja.
Lilian tergelak. "Dari mana kamu tahu?"
"Aku pernah sekali diajak Arga ke makam orangtuanya, jalannya jadi nggak asing lagi buatku," jawab Senja. Sial, aku jadi rindu padanya.
Lilian tersenyum dan kembali fokus menyetir. Sesekali ia melirik putrinya yang ada di sampingnya. Rautnya tidak bisa ditebak. Kendati demikian, ia tahu bahwa hati putrinya sedang dalam kondisi kurang baik. Sungguh, jika saja Arga selamat seperti putrinya, Lilian akan sangat berterimakasih pada pemuda itu.
Mobil sedan yang Lilian kendarai berhenti di depan salah satu bangunan. Selanjutnya mereka akan pergi ke belakang bangunan tersebut. Di balik bangunan itulah terdapat sebuah lahan yang biasa dipakai untuk pemakaman.
Jika saat itu Senja terpana dengan pemandangan dan angin sejuk di sana, kini ia fokus pada satu gundukan tanah baru dengan beberapa bunga layu di sana. Senja menatap batu nisan yang ada dihadapannya. Entah mengapa rasanya ia tak ingin menangis. Tapi gadis itu tahu, di lain waktu ia pasti akan menangis.
"Kalau saja waktu itu dia juga selamat, Mama akan menganggap dia sebagai anak Mama sendiri. Mama rawat dia, Mama sayang dia," ujar Lilian.
"Udahlah, Ma. Biarkan dia tenang. Dia pasti udah ketemu sama orangtuanya."
"Mama bener-bener berterimakasih sama Arga."
Mereka mendoakan Arga. Setelah dirasa cukup mereka kembali ke rumah.
***
"Hari ini lo jangan sekolah dulu," kata Kevin yang sudah rapih dengan seragamnya.
Laki-laki itu berdiri di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada dengan tatapan dingin. Manly sekali. Senja bersumpah siapapun gadis yang melihat kakaknya itu pasti terpana. Padahal mereka tidak tahu betapa menyebalkannya ia bila sudah kambuh sifat jahilnya.
"Nggak, gue tetep sekolah. Nggak ada yang bisa ngalangin gue," jawab Senja menerobos tubuh Kevin. Sementara sang kakak hanya bisa menatap punggung sang adik yang kian menjauh.
"Sudahlah, biarkan saja. Dia sudah cukup kuat buat sekolah," ujar Lilian yang datang dari arah belakang Kevin.
"Nggak, Ma. Bukan itu masalahnya," sahut Kevin.
Lilian kembali bertanya namun tidak digubris oleh Kevin. Pemuda itu hanya bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila Senja tetap bersekolah. Bisa dipastikan ketika pulang sekolah nanti Senja akan memasang wajah murung.
Setelah sarapan dan persiapan lainnya, Senja pun berangkat. Namun belum sampai Senja di gerbang rumahnya, Lilian kembali menghampiri Senja.
"Senja, mau Mama antar?" tanya Lilian.
Senja termenung sesaat. Kemudian ia mengangguk sebagai jawaban. Lilian pun ke garasi dan keluar bersama sedan yang biasa ia pakai. Mereka pun meluncur menuju sekolah Senja.
"Karena Arga nggak ada, kamu pulang sama kakakmu ya," ujar Lilian.
"Ya ampun, Ma. Aku udah gede," jawab Senja.
"Dunia luar jahat, sayang. Mama cuma khawatir sama kamu."
Senja tersenyum tipis. "Iya, Ma. Nanti aku pulang sama Kak Kevin."
Senja pun pamit pada Lilian. Senyum mengembang di wajah gadis itu. Namun rautnya berubah saat melewati koridor. Tatapan tajam menyambutnya begitu ia tiba di sekolah. Semua, termasuk adik kelas dan kakak kelas. Kecuali Kevin tentunya. Senja berusaha mengingat tanggal. Setahunya hari ini bukan april mop. Lagipula meskipun april mop, tidak mungkin seluruh siswa akan membuat acara hanya untuk Senja.
Kelas gadis itu berada di ujung koridor. Seketika koridor terasa sangat panjang. Semua orang menghujaninya dengan tatapan tidak suka, jijik, benci, dan ujaran negatif lainnya. Dan Senja belum menemukan alasan yang tepat.
Tak jauh berbeda dengan di koridor. Di kelas pun semuanya sama. Yang biasanya menyapa kini melirik pun tak sudi. Tak lama Chika datang bersama Agil. Mereka resmi berpacaran setelah ujian kenaikan kelas. Sekitar 7 bulan setelah Arga dan Senja mulai berpacaran.
"C-Chika."
Chika menatap datar. Di tahun kedua ini Chika terpisah dengan Senja. Senja masuk di kelas XI IPA 1 sementara Chika kelas XI IPA 2. Chika ke sini bersama Agil. Mereka terbiasa bersama setelah jadian.
"Masih berani manggil gue?" jawab Chika dingin.
Senja terdiam. "Kalau gitu gue mau nanya. Kenapa semua orang menatap gue kayak gitu?"
"Setelah apa yang lo perbuat sampai Arga relain nyawanya buat lo, lo pikir semua orang bakal simpati sama lo? NGGAK!"
Seisi kelas terdiam begitu mendengar bentakan dari Chika. Termasuk Senja. "Gue nggak tahu apa masalah lo sampai lo ceroboh bahayain nyawa lo sendiri. Dan sekarang Arga pergi gara-gara lo!"
"Terus gue harus apa?! Arga udah pergi dia nggak mungkin kembali!"
"Yang harus lo lakuin? Mati! Tukar nyawa lo sama nyawa Arga! Gue nggak sudi punya sahabat pembunuh kayak lo!"
Sepersekon kemudian Chika pergi dengan amarah yang meluap-luap.
"Selamat ya, lo sukses bikin kita semua kecewa," ujar Agil sarkas. Lantas ia pergi menyusul Chika.
Senja terdiam seribu bahasa. Ia menoleh bangku kosong yang ada di sampingnya. Benar, seharusnya ia yang mati. Bukan Arga. Setidaknya Chika tidak kehilangan salah satu anggota keluarganya. Senja bangkit menuju halaman belakang sekolah sebelum air matanya merembes. Ia tidak mau terlihat lemah di mata orang yang sudah menjatuhkannya. Bisa-bisa mereka membuat Senja lebih jatuh lagi.
Senja tiba di halaman belakang sekolah. Ia duduk di bawah pohon rindang. Gadis itu tidak peduli dengan rumor para siswa mengenai pohon itu berpenghuni. Ia mulai terisak. Sudah tidak terhitung berapa tetes air mata yang ia jatuhkan. Kalau saja Arga masih ada, mungkin laki-laki itu sudah memeluk Senja dan menenangkannya. Tapi fakta adalah fakta. Fakta bahwa Arga pergi dan tak 'kan bisa kembali lagi. Bahkan untuk orang penting di kehidupannya.
"Ngapain lo nangis di sini?" Sebuah suara menyadarkan Senja. Itu Kevin.
Senja menggeleng. Namun air matanya tetap merembes. Kevin pun berinisiatif menghapus air mata adiknya dengan saputangan. Alih-alih mereda, tangis Senja semakin menjadi-jadi. Ia merengkuh tubuh atletis Kevin. Memukul dada bidangnya, meremas seragamnya, dan lain-lain sebagai media untuk melampiaskan lonjakan emosinya.
"Udah gue bilang 'kan, jangan sekolah dulu," ujar Arga sambil mengusap pelan surai adiknya.
Senja tidak menjawab. Ia masih menangis.
Dalam hati, Kevin merutuki segalanya. Si penyebar gosip, adiknya yang keras kepala, dan semua murid yang tidak berpikir dewasa untuk mencerna sebuah berita. Mereka hanya tahu adiknya adalah pembunuh. Beruntung Kevin bisa menahan diri dan lebih memilih menghibur Senja daripada menggubris gosip murahan yang lebih murah dari atom debu.
"Sebentar lagi masuk. Ayo ke kelas," ajak Kevin.
Senja menggeleng. Tangisnya sudah mereda namun ia enggan melepas dekapannya.
"Apa mau gue anter ke kelas?"
Senja menggeleng lagi. "K-kalau mereka ikut musuhin K-Kakak gimana?"
"Sejak lo koma, gosip itu mulai menyebar. Gue sih nggak peduli tentang gosip. Mereka yang masih sayang nyawa karena nggak mau dihukum nggak ngerjain tugas lebih milih tetap temenan sama gue. Di situ kesempatan gue buat jelasin semuanya."
Senja menggigit bibir bawahnya. Kakaknya memang yang terbaik. Gadis itu akhirnya melepas dekapannya. Kevin menyeringai tipis melihat wajah adiknya. Mata sembab, poni yang berantakan, serta bibir yang mencebik membuat Kevin ingin mengajaknya kabur ke Dufan agar adiknya itu bisa tertawa lagi.
***
Jangan lupa vote, comment, and share:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar dan Senja
Teen FictionKetika Fajar dan Senja bertemu. Fajar Rizky Mahendra, siswa pindahan yang mampu membuat dunia seorang Senja Azalea Kusuma berubah. Fajar yang memiliki masalah dalam hidupnya, harus berjuang menutup kesedihannya di hadapan teman-temannya. Termasuk Se...