33. Bertemu Kembali

65 6 6
                                    

Fajar menutup pintu rumah setelah berpamitan dengan Asri yang tengah sibuk di dapur. Pemuda itu baru saja berangkat sekolah. Kali ini ia berjalan kaki, tidak menggunakan sepedanya. Entahlah, ia mendapat firasat dari mana kalau sepedanya mungkin hanya akan membuatnya repot.

Dugaan Fajar benar. Ketika ia hampir melewati rumah Senja, pemuda itu sadar ada seseorang yang mengikutinya. Fajar memiliki dua kemungkinan. Dirinya yang diincar atau gadis pemilik rumah besar di depannya yang diincar. 

Dari sini, Fajar harus memutar otak untuk membuktikan dugaannya. Memang merepotkan sih, tapi kalau cuma buat mancing, mending tadi gue bawa sepeda.

Fajar sengaja membawa penguntit itu melewati jalan memutar menuju sekolahnya. Kalau si penguntit bukan ingin mengincar rumah Senja, ia pasti terpancing untuk mengikuti Fajar.

Memang benar, si penguntit memang mengikuti Fajar. Entah maksudnya apa, tetapi menurut Fajar penguntit itu sama sekali bodoh. Untuk skala besar seperti jalan raya, mengikuti dalam radius 3 meter itu cukup kentara. Meskipun Fajar baru mengetahuinya ketika sampai di dekat rumah Senja.

Tak apa kali ini Fajar jadi hampir telat. Setidaknya pemuda itu tahu, bukan Senja yang dalam bahaya. Ia tak bisa membayangkan kalau Senja dalam masalah dan gagal menyelamatkannya. Bisa-bisa satu sekolah memusuhi gadis itu lebih dari yang sekarang.

Ketika Fajar sampai di lingkungan sekolah, ia menoleh ke arah belakang. Tidak ada yang mengikutinya, tapi ia bisa lihat siapa sosok di balik pohon besar itu. Fajar langsung berjalan menuju kelasnya meskipun masih cukup terkejut mengetahui siapa yang menguntitnya.

Bel sekolah berbunyi bertepatan dengan munculnya Fajar di ambang pintu kelas.

"Lo dari mana?" Senja menegakkan tubuh begitu ia menemukan orang yang ia tunggu.

"Ah, tadi ada stalker. Jadi gue ngulur waktu," jawab Fajar sambil menaruh tasnya. 

"Sok ganteng banget lo sampai punya stalker," sahut Senja.

Fajar terkekeh sesaat. "Yang ngikutin gue itu cowok, sekitar umur 40-an, bukan idol korea yang nyasar. Lo tenang aja, gue nggak akan pergi dari lo."

"Oh good! Sekarang lo yang kayak penguntit."

Fajar kembali terkekeh sebelum akhirnya ia berhenti karena seorang guru telah masuk ke kelas.

***

Senja menghentikan kegiatan makannya dan beralih untuk menatap Fajar. 

Pemuda itu sedari tadi hanya menatap nasi beserta ayam goreng yang ia pesan tanpa berniat untuk menyentuhnya sedikitpun. Berbeda dengan Senja yang langsung melahapnya begitu pesanan tiba. Memangnya cuma dipelototin bakal kenyang? 

"Heh! Gimana mau kenyang kalau cuma dipelototin?! Lo pikir itu nasi ayam bakal baper lo pelototin?! Big no!" seru Senja tepat di hadapan wajah Fajar.

Pemuda berjengit kaget. "Siapa juga yang mau baperin nasi? Lo aja sono."

Senja mendecak kesal. "Apa harus gue suapin?"

"Boleh! Aaa...." 

Fajar membuka mulutnya yang kemudian Senja sumpal dengan tisu.

"Makan noh!"

Fajar langsung memuntahkan tisu tersebut. Ia kemudian mau tak mau memakan pesanannya daripada harus mendengar omelan Senja.

"Hei." Fajar menjeda sesaat. "Wanna hear a secret?"

Senja kembali menatap Fajar dengan tatapan 'apa?'.

"About my stalker."

"Jadi lo tahu siapa orangnya?"

Fajar menyeringai. "Bukan cuma tahu, gue kenal."

Gadis itu tersedak mendengar perkataan Fajar. Pemuda itu lantas buru-buru mengusap punggung Senja dan memberinya minum. 

"L-lo serius?" tanya Senja yang masih tak percaya. 

"Kapan gue bercanda?"

"Nggak usah sok romantis deh!"

"Gue nggak sok romantis, itu elonya aja yang baperan!"

"Eh sialan lo ya!" Senja hampir saja melempar botol minum yang ada di depannya. "Jadi ada apa dengan si penguntit?"

Fajar menggigit bibir bawahnya. Ia tampak berpikir. "Nggak deh, gue takut lo ikut keseret."

Gadis di hadapan Fajar itu terkekeh sinis. "Kita ini sebelas dua belas ya. Kalau ada apa-apa pasti saling nggak mau ngasih tahu. Alasannya sama pula."

"Jangan-jangan kita jooooo-"

"Mblo." Senja menatap datar Fajar. 

"Anjir sih ngenes banget."

"Oke sih kalau lo nggak mau ngasih tahu. Tapi kalau mau ngasih tahu, gue ada kok. Gue ke kelas." 

Senja meninggalkan Fajar yang masih termangu mendengar perkataan gadis itu. 

Belakangan ini Senja memang berubah. Tidak seperti saat pertama bertemu. Tentu Fajar sangat senang. Akhirnya ia bisa menghilangkan sifat Senja yang terlalu memendam masalahnya sendiri.

Namun kini justru pemuda itu yang bingung bagaimana cara berbicara pada Senja. Ia sadar jika ia lah yang menyuruh Senja bercerita untuk membantu meringankan beban gadis itu. Tetapi kini permasalahannya cukup serius. Jujur saja, Fajar takut Senja ikut diincar. 

***

Fajar pulang sendiri hari ini. Ia sengaja tidak pulang bersama Senja. Ia tahu, saat di perjalanan pulang ia pasti akan diikuti lagi dengan si penguntit. Memang benar, Fajar sudah merasakan kehadirannya sejak beberapa meter dari gerbang sekolah.

Fajar ingat betul dengan kecerobohan orang itu. Ia terkekeh pelan bila mengingat terakhir kali ia bertemu dengan orang tersebut.

Ia juga sudah menyangka kalau di tengah jalan ia akan diserang secara tiba-tiba. Memang begitu cara kerja orang tersebut. 

"Long time no see, stepchild." Kini si penguntit tengah berdiri menatap Fajar yang tersungkur. Pemuda itu sengaja memilih jalan pintas yang sepi. 

"Anda masih tidak berubah, tetap gegabah seperti--argh!"

"Diam!" 

Si penguntit, Budi, kembali menendang tubuh Fajar yang masih belum bangkit itu. "Kamu tahu berapa biaya yang harus saya keluarkan untuk membayar denda, huh?!"

"Memangnya Anda sendiri tahu berapa banyak air mata ibu saya yang beliau keluarkan hanya karena perbuatan Anda yang selalu menyakitinya?!" 

Budi terdiam. Fajar menggunakan kesempatan ini untuk bangkit.

"Berhenti mencari saya dan ibu saya. Sudah cukup kami menderita hanya karena perbuatan Anda!"


Bugh!


Selanjutnya pandangan Fajar menjadi hitam. 










Fajar dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang