Senja menikmati perjalanan pulangnya. Gadis itu ingin mengajak Fajar kemari. Setelah itu ia akan mengajak laki-laki itu meluncur di atas salju buatan.
Senja terus berangan-angan hingga tak sadar akan satu hal. Saat ia sampai di jalan yang penuh tikungan, dari arah berlawanan ada sebuah bis yang hilang kendali karena remnya blong. Bis itu menghantam motor sport yang Indra kendarai dan beberapa kendaraan di belakangnya. Senja terpental beberapa meter. Kepalanya membentur aspal. Benturan itu kembali membawanya bersama angan-angan tadi ke dalam sebuah mimpi tak berujung.
***
"Ermh, Papa..." lirih gadis itu begitu sadar.
Senja baru saja terbangun dari masa kritisnya selama tiga hari. Gadis itu tengah dirawat di salah satu rumah sakit umum daerah.
"Kakak udah sadar? Sebentar ya," kata Lusi.
Tak lama datanglah dokter dan dua suster yang akan memeriksa keadaan Senja. Gadis itu pun dipindahkan ke ruang inap.
"Papa mana?" tanya Senja. Hal pertama yang muncul di kepala gadis itu adalah sang ayah.
Lusi mencoba tersenyum. "P-papa masih kritis."
Senja sangat terkejut mendengar hal itu. Kepalanya yang masih dibalut perban pun terasa sakit.
Setelah beberapa bulan ia mencoba membuka diri, tiba-tiba hal itu terjadi lagi. Kenapa harus Indra? Kenapa tidak gadis itu saja yang mati?
Tangis Senja pecah seketika. Ia tak peduli apabila lukanya semakin terasa sakit. Rasa sakit di kepalanya tak sebanding dengan rasa sakit yang memenuhi hatinya. Baru saja ia merasakan kebahagiaan bersama sang ayah, namun kini Tuhan merebut kembali kebahagiaannya.
Tangis Senja tak bertahan lama. Air matanya telah habis. Tinggallah rasa sesaknya yang masih tersisa di hati gadis itu.
"Kenapa harus Papa? Kenapa bukan gue?" ucap Senja tanpa sadar.
"Kak, gue mohon jangan salahin diri lo lagi," pinta Lusi.
"Lo ngomong gitu seakan nggak mau bikin gue menderita. Tapi pada akhirnya lo tetap cuma pengen Papa ada di samping lo," jelas Senja sambil menahan diri.
"Kalau lo mau tahu, sebenernya ini ide gue. Gue yang nyuruh Papa ngajak lo liburan."
"Haha, bego."
Lusi tersenyum getir.
Tak ada lagi percakapan di antara mereka. Larut dalam keheningan yang mencekam.
"Gue mau tanya sama lo," kata Lusi, "apa lo pikir Papa selalu jahat sama lo?"
Senja tak menjawab.
"Lo salah, Kak. Coba lo inget waktu lo patah hati buat pertama kalinya. Papa ngeliat lo depresi, dia langsung ngambil gitar tuanya terus nyanyi bareng lo biar lo merasa lebih baik," jelas Lusi.
Senja masih bergeming.
"Tapi entah kenapa setelah itu lo mendadak amnesia. Seolah-olah kejadian Papa menghibur lo nggak pernah terjadi. Yang ada di pikiran lo Papa jahat, cuma mentingin gue. Selalu mengabaikan lo, padahal kenyataannya justru dia mati-matian muter otak biar lo mau mandang dia lagi sebagai ayah yang baik."
Benar, selama ini memori Senja seperti terhapus begitu saja setelah kejadian itu. Tidak hanya sekali Indra menghibur Senja.
"Gue mohon, ini yang terakhir lo nutup mata buat dia. Udah cukup dia frustasi gara-gara dia merasa gagal jadi ayah," pinta Lusi.
***
Senja terisak di sudut kamarnya. Ia terus menangisi laki-laki yang tega meninggalkannya demi gadis lain.
Indra berjalan melewati kamar Senja dan mendengar tangisan gadis itu. Lantas ia mengambil gitarnya lalu masuk ke dalam kamar Senja.
Jrengggg!
"Permisi, numpang ngamen,"
Senja mendongak. Ia menghapus air matanya.
"Kamu kenapa?" tanya Indra.
"Aku sebel, Pa," jawab Senja.
Indra duduk di sisi Senja. "Sebel kenapa?"
"Adam mutusin aku cuma demi cabe-cabean murah kaya Sera," jawab Senja. Air matanya kembali turun.
"Memangnya dia ganteng?" tanya Indra.
"Nggak sih, cuma modal janji palsu sama kata-kata manis. Aku juga bingung kenapa aku bisa suka sama dia," jelas Senja.
"Papa yakin dia nggak sekeren Papa. Pasti dia nggak bisa masak. Pasti suara dia sumbang buat nyanyiin kamu. Dan pastinya keromantisan yang dia buat semata-mata cuma jebakan. Nggak kayak Papa yang keren ini."
Senja tertawa hambar. "Papa bisa aja."
"Nggak usah nangisin laki-laki kayak dia. Nggak pantes juga kalau kamu jadian sama dia."
Senja mengangguk. "Semua laki-laki sama aja, haha."
"Laki-laki baik masih banyak di luar sana. Jangan bilang semua laki-laki sama aja. Kalau semua laki-laki sama, Papa nggak mungkin bisa bertahan sama Mama sampai kamu, Kevin, dan Lusi lahir, bener nggak?"
Senja mengangguk setuju. Tanpa sadar, air matanya mengalir kembali bersama rasa sesak di dadanya.
Indra menyeka air mata putrinya itu. "Kita nyanyi yuk, mungkin kamu tahu lagu ini."
Indra mulai memetik senar gitarnya. Memainkan nada-nada indah yang pernah ia dengar sebelumnya.
Mati satu tumbuh seribu
Patah hati jangan mengeluh
Masih banyak hati yang lain
Yang menanti tuk kau singgahiPutus cinta soal biasa
Sedihnya jangan lama-lama
Nanti kau bisa mati rasa
Tegarkan hatimu dan melangkahlahSuatu saat nanti kau dapatkan
Pujaan hati yang kan kau dambakan
Ini semua telah Tuhan rencanakan
Jadi jangan bersedih lagiPutus cinta soal biasa
Sedihnya jangan lama-lama
Nanti kau bisa mati rasa
Tegarkan hatimu dan melangkahlahSuatu saat nanti kau dapatkan
Pujaan hati yang kan kau dambakan
Ini semua telah Tuhan rencanakan
Jadi jangan bersedih lagiMungkin dia memang bukan jodohmu
Dipaksakan nanti sakit hatimu
Pilihan Tuhan pasti jauh terbaik
Jadi jangan bersedih lagiPilihan Tuhan pasti jauh terbaik
Jadi jangan bersedih lagi.Jep!
Senja terbangun. Ia baru saja bermimpi saat ia berusia 13 tahun. Saat itu ia pertama kali mengenal cinta. Di saat itu pula ia pertama kali merasakan patah hati.
Benar kata adiknya, kehilangan sang ibu membuat memori itu hilang begitu saja bersama kesedihan yang ia rasakan.
Tidak, sebelum kecelakaan itu terjadi pun Senja sudah bisa menerima kembali ayahnya. Hanya saja kebenciannya terlalu besar dan tidak bisa lagi melihat kebaikan Indra.
Jangan lupa vote, comment, and share☺thank you
KAMU SEDANG MEMBACA
Fajar dan Senja
Fiksi RemajaKetika Fajar dan Senja bertemu. Fajar Rizky Mahendra, siswa pindahan yang mampu membuat dunia seorang Senja Azalea Kusuma berubah. Fajar yang memiliki masalah dalam hidupnya, harus berjuang menutup kesedihannya di hadapan teman-temannya. Termasuk Se...