8. Senyuman Pertama

163 8 0
                                    

Sepanjang jalan Fajar tak henti-hentinya memikirkan keadaan Senja. Ia khawatir gadis itu meminum obat tidur tersebut secara berlebihan. Di luar dugaannya, Senja ternyata gadis yang nekat.

Seandainya ia dekat dengan keluarga Senja, mungkin Fajar bisa membantu lebih banyak. Namun, keadaan sedang tak memihaknya. Ia hanya bisa membantu sebisanya.

"Kalau aja dia tahu apa yang gue rasain sekarang, apa reaksinya? Takjub kah? Tersanjung kah? Atau biasa aja?" gumam Fajar.

Fajar menepis pikirannya. Ia kembali fokus mengayuh sepedanya.

"Kamu ke mana aja? Kenapa jam segini baru pulang?" tanya Asri begitu Fajar sampai di rumahnya.

"Dari rumah Senja," jawab Fajar sekenanya.

Asri mengerti. Ia tidak menaruh curiga pada putranya. Senakal apapun Fajar, ia tidak pernah sampai membuat statusnya berubah menjadi buruk baik di sekolah ataupun di lingkungan masyarakat.

"Kalau mau cerita Ibu dengarkan kok," jelas Asri meskipun tak mendapat jawaban apa-apa dari putranya.

***

Selesai belajar, Fajar membuka laptopnya. Ia membuka e-mailnya. Tak ada e-mail yang masuk. Biasanya Senja selalu mengirim e-mail di jam-jam seperti ini.

"Apa dia belum bangun?" gumam Fajar.

"Dia minum berapa banyak sih?!" Fajar mulai geram dengan sikap Senja.

Laki-laki itu bangkit dari duduknya, ia bersandar di kayu dipan kasurnya. Fajar memijat pelipisnya, kini pikirannya dipenuhi oleh seorang gadis bernama Senja.




Sementara itu, di tempat lain, Senja baru saja terbangun.

"Kenapa gue bangun?" gumam Senja saat membuka matanya.

Benaknya bertanya-tanya, mengapa ia terbangun di kamarnya. Siapa yang membawanya pulang?

Dari sekian nama yang ada di kelasnya, hanya satu nama yang muncul di benak gadis itu, Fajar.





Siapa lagi kalau bukan laki-laki itu.

***

Keesokan harinya, Senja berangkat sekolah seperti biasa. Hanya saja ia harus melewati sederet pertanyaan dari Indra.

"Senja kemarin kamu kenapa?" tanya Indra.

"Nggak apa-apa," jawab Senja datar.

"Kemarin teman kamu bilang dia nemu ini dari tas kamu," kata Indra sambil menunjukkan obat tidur yang kemarin Fajar temukan dari tas Senja.

Senja sedikit terkejut, tetapi ia tidak menunjukkannya. "Kemarin aku sakit kepala sampai nggak bisa tidur, jadi aku minum obat itu."

"Lain kali kalau begitu lagi kamu telpon Papa, biar Papa yang bawa kamu ke rumah sakit," kata Indra.

"Hm." jawab Senja.

Senja benar-benar tak ingat kapan terakhir kali ayahnya mengkhawatirkannya. Sungguh, gadis itu merasa memorinya hilang begitu saja setelah kejadian itu.

Di gerbang sekolah, Senja kembali bertemu Fajar. Ekspresinya selalu sama. Tak ada senyum ataupun sekedar tegur sapa. Fajar mengikuti Senja dengan jarak satu meter di belakang gadis itu.

Pagi ini, Senja bertemu dengan troublemaker di sekolahnya. Sekumpulan anak laki-laki yang gemar mengganggunya.

Gadis itu kerap diganggu semenjak masuk SMA. Terlebih kini, saat dirinya benar-benar sendiri.

"Hei Elsa," ucap salah satu siswa.

"Duh, dingin. Pergi ah, ntar beku," sahut siswa lainnya.

"Eh Fajar," kata laki-laki lain yang tampaknya ketua dari geng tersebut.

Fajar berhenti. "Paan?"

"Kok lo mau sih deket sama si aneh kayak dia? Haha gue sih kasian aja, masih muda udah gila cuma karena cinta," jelas laki-laki itu.

Fajar mengangkat alisnya. "Ck, gimana mau deket, temenan aja susah." Fajar memberi jeda."Dan satu lagi, seburuk apapun dia, mending lo diem deh. Hati-hati karma lagi kedapatan banyak job. Siapa tahu lo yang berikutnya."

Fajar pun berlalu meninggalkan laki-laki tadi yang kini tengah jengkel dengan ucapan Fajar. Seburuk itukah reputasi Senja?

Tepat setelah lima menit Fajar dan Senja duduk di tempat mereka, bel masuk pun berbunyi.

Senja masih terdiam seperti biasa. Fajar mengira gadis itu terdiam karena ucapan laki-laki tadi yang jelas-jelas menyindir Senja. Fajar pun mencoba menenangkan Senja.

"Udah gak usah dimasukin ke hati, positif thinking ae mungkin dia sirik gak bisa kayak lo," kata Fajar.

Senja ingin sekali berkata bahwa bukan itu yang mengganggu pikirannya. Namun, bukan Senja namanya bila gadis itu blak-blakan pada orang asing. Akhirnya, gadis itu menjelaskannya walau singkat.

"Bukan itu, gue udah biasa dibilang elsa, atau ratu es atau apalah. Gue gak peduli. Thanks, karena lo nggak jadi bajingan kayak mereka," kata Senja.

"Hehe, um ... jadi lo kemarin kenapa 'begitu'?" tanya Fajar.

"Harusnya lo nggak usah nolong gue, gak bermanfaat juga. Yang ada lo ikut keseret sama masalah gue," jawab Senja.

"Lo mau tahu gak kenapa gue selalu nolong lo, selalu ada buat lo?" tanya Fajar melembut.

Senja menoleh ke arah Fajar menandakan gadis itu penasaran.

"Karena perempuan memang seharusnya dilindungi. Mereka juga punya hak buat setara sama laki-laki."

Senja terdiam. Batinnya bertanya mengapa Fajar seperti itu padanya. Padahal selama ini Senja acuh tak acuh.

"Kalau gue boleh ngomong, yang punya masalah nggak cuma lo. Gue juga punya masalah." Fajar tersenyum tipis. "Tapi setidaknya gue gak nyerah sama keadaan. Gue harap lo juga gitu. Apapun masalah lo, lo pasti bisa melewatinya," lanjut Fajar.

"Kenapa?" tanya Senja.

"Karena gue tau lo bukan gadis lemah."

Senja menyeringai tipis. "Gue benci mengakuinya, tapi gue terkesan."

"Oh ayolah, kapan lo ngerasa gak terpaksa kalo sama gue?"

"Bawel lo!"

Bu Levy yang sedang mengajar pun berbalik. "Fajar, Senja, keluar kalian dari kelas!"

"Baik, Bu," ucap Fajar dan Senja berbarengan.

Mereka pun keluar dari kelas. Pelajaran pun berlanjut.

"Ini semua gara-gara lo," kata Senja.

"Kok gue? Kan tadi lo yang teriak," sangkal Fajar.

Senja terdiam sejenak. "Jadi gini ya rasanya jadi berandalan."

"Lo mau jadi berandalan gitu?" tanya Fajar.

"Nggak sih, cuma kadang gue mikir kayak gimana rasanya," jawab Senja.

"Dan rasanya?"

Senja menoleh ke arah Fajar dan tersenyum. "I feel free."

Saat itulah pertama kali Fajar melihat senyum manis dari Senja. Bukan senyum sinis ataupun senyum yang dipaksakan.
















Jangan lupa vote, comment, and share☺

Fajar dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang