Chapter 11 - Jangan pergi.

322 42 16
                                    

calum's point of view.

Malam ini, ditemani cokelat panas dan camilan, gue lagi nelfon kakak gue–Mali– yang lagi kuliah di Australia. Dia baru berangkat beberapa hari yang lalu sih, tapi dia nya udah kangen sama gue. Gue sih maklum aja, soalnya gue orangnya emang ngangenin.

padahal mah sebenarnya gue yang nelfon duluan.

Karena Mali pergi, alhasil gue tinggal di Jakarta sama mama. Yah, gak ada temen kelahi lagi deh.

"Eh kak, gue mau nanya deh." Seru gue pada Mali yang katanya lagi nugas.

"Paan? Jangan bilang lo mau nanya disini ada nasi padang apa kaga, kalau iya lo gue gampar, serius." Balas Mali dengan sedikit nada kesal, gue tertawa menanggapinya.

"Kaga, gue mau nanya itu, kalau cewe tiba-tiba marah itu kenapa sih?" Terdengar suara tawa dari sebrang sana.

Lah si tai gue nanya malah diketawain.

"Nape lu? Ohh! Pasti Bila kan?" Tebaknya sambil tetap tertawa.

"Hm." Balas gue singkat karena merasa jengkel dengan Mali yang tak berhenti ketawa.

"Gini ya adek ku sayang, cewe kalau marah tiba-tiba itu ada tiga tanda. Pertama, dia lagi dapet, yang kedua dia lagi ga mood, yang ketiga ya emang lo nya jelek kali makanya dia kesel." Jelas Mali yang gue jawab dengan anggukan dan putaran mata, walau gue tau Mali gabakal ngeliat gue.

"Emang kenapasi, cerita sini." Tanya Mali dengan lembut. Gue menghela nafas pelan dan mulai menceritakan semuanya. Mulai dari Bila yang tiba-tiba gamau pulang sama gue sampai akhirnya gua yang anterin dia juga, dan terakhir ketika kami sampai dirumah Bila, dia malah bilang,

'Aku mau diantar kamu bukan berarti aku udah gamarah sama kamu.'

Gusti, salah Calum apa coba?

Calum kan anak baik, ramah, tampan, dan penyayang. Satu bumi Indomaret juga tau itu.

"Gini deh cal, coba lo datengin deh sekarang Bila nya atau telfon, ajak bicara," Saran Mali yang gue pikir-pikir bagus untuk dilakukan.

"Iya ya kak, gue gak kepikiran dari tadi, thanks deh. Kalau gitu gue matiin dulu ya."

"Iye bucin, bye." Mali memutuskan sambungannya secara sepihak, padahal tadi gue bilangnya gue yang matiin ya. Huh.

Gue beranjak dari kasur dan berganti baju, bersiap mau kerumah bila. Gue lebih memilih kerumah nya sih dari pada nelfon. Selama gue bisa kenapa engga ya. Lagian kata Mali, cewe tuh sukanya tindakan langsung gitu, didatengin tiba-tiba.

Gue buru-buru kebawah dan pamitan sama mama, lalu mengeluarkan motor dan pergi kerumah bila.

Selama perjalanan gue mikirin kata apa yang harus gue bilang ke bila nanti. Gue gatau serius masalahnya tiba-tiba marah gitu, apa iya bila lagi dapet ya? Atau bila lagi gak mood gitu? Oh atau– tunggu, atau jangan bilang bila ngeliat tadi si Annisa meluk gue?

anjing, iya kali ya.

"Mampus gue." Gue bergegas dan pergi ke rumah Bila.

Sepanjang perjalanan gue tak berhenti memikirkan apa yang harus gue bilang ke Bila. Gue yakin dia salah paham. Ga mungkin kan gue tiba-tiba datang, terus bilang ke dia tentang Annisa.

Huh, yaudah deh gue jelasin dulu. Jadi tadi pas di UKS, si Annisa tiba-tiba ngajak gue makan, gue pertamanya bilang gue bisa tapi setelah gue inget ternyata gue ada janji sama Bila mau pergi. Akhirnya gue bilang ke dia gue gabisa, dan dia nangis tjuy. Gue bingung kan, tapi gue bingung-bingung bego gitu, gue ga bertindak apa-apa karena seperti yang diketahui gue punya cewe.

Eh pas Annisa mau pergi, seragamnya nyangkut di kasur UKS, gue refleks dong nangkap dia, jadi kayak pelukan gitu. Gue yakin sih Bila salah paham. Gue harus jelasin sama dia secara rinci.

Gak terasa, gue udah sampai di rumah Bila. Seperti biasa, gue parkir di depan rumahnya. Gue merasa sedikit aneh, gak biasanya rumah Bila kebuka gini. Ada tamu kali ya? Emang sih ada motor gitu, tapi—

"Tolong! Tolomphh–" Kaget, gue mendengar teriakan Bila dari dalam, gue berlari masuk dan mencari keberadaan Bila.

Gue melihat kamar bila terbuka, dengan mengendap-endap gue melihat kedalam kamar Bila.

Disana gue melihat Bila disudutkan tepat didekat meja belajarnya dengan seorang cowok yang gue gatau siapa. "Bayu le–lepasin g–gue." Gue melihat Bila meronta disana. "Gak, sebelum kamu cium aku bil, dan kita balikan."

Dengan emosi, gue menarik jaket cowok itu dan menghantamnya dengan pukulan tanpa ampun. "CALUM!" Teriak Bila yang gue hiraukan karena masih fokus untuk menghajar cowok brengsek yang maksa Bila untuk cium dia.

Bila menarik gue paksa, dan memeluk gue. Bukannya enggan untuk membalas, tetapi emosi gue masih memuncak, sehingga gue putuskan untuk menatap tajam cowok yang terbaring dengan wajahnya yang penuh darah didepan gue ini. Perlahan dia bangkit dengan tertata-tata dan darah yang berjatuhan.

"Oh, jadi ini, cowok yang buat kamu gak mau balikan sama aku? Ini bil?" Ucapnya dengan menatap gue tajam.

Bila yang masih berada dipelukan gue, seketika menoleh kearah cowok itu dengan wajah ketakutan. "Iya, gue cowoknya Bila." Dengan lantang gue menjawab dan kembali menarik Bila kedalam pelukan gue agar dia tidak melihat perdebatan gue dan cowok ini.

Cowok itu tertawa remeh dengan matanya yang masih setia menatap tajam gue, "Tunggu aja tanggal main nya." Dengan tertata-tata cowok itu pergi dan gue mendengar suara motor yang pergi. Cowok itu udah ga disini.

Gue melihat kearah Bila, dia memeluk gue erat dengan tangisannya yang kuat, bahunya yang naik turun dan rambutnya yang berantakan. Gue membalas pelukannya, mengelus punggungnya perlahan, berharap energi gue tersalurkan hal itu.

Lama berpelukan, gue merasakan Bila mulai sedikit tenang, dengan pelan gue mengendorkan pelukannya dan menatap Bila yang gue yakin sangat trauma sekarang. Gue menggenggam kedua pipinya dan mengarahkannya keatas supaya dia menatap gue. Mata kami bertemu, hati gue tersayat melihat dirinya sekarang, gue tersenyum berharap Bila mengerti bahwa gue ingin dia kuat.

"Ayah sama Bunda mana?" Tanya gue pelan. "Kerumah nenek, nginap, aku gak ikut karena mau ngerjain tugas kliping nya pak Eko." Gue mengangguk.

Besok memang hari sabtu dan kita libur, tapi gue udah gak heran kalau Bila ngerjain tugas itu sekarang. Heran kadang, sok rajin banget anaknya.

Dia memeluk gue lagi kali ini lebih erat. Gue mengangkatnya perlahan dan memindahkannya kekasur dengan posisi yang sama. Ketika gue ingin melepaskan pelukan, Bila menahan gue dan berbisik, "Cal, j-jangan pergi aku takut." Gue mengangguk dan kembali menenangkannya.

Setelah merasa Bila benar-benar sudah tertidur, gue beranjak keluar kamar Bila, mengunci pintu utama agar aman. Gue memutuskan untuk nginap, karena Bila lagi butuh gue sekarang.

Gue kembali ke kamar Bila, dengan Bila yang sudah tertidur pulas. Melihatnya damai seperti ini, gue jadi makin bingung masih ada aja orang mau jahatin dia.

Gue membentangkan selimut dan memasangkannya pada cewek yang udah berhasil mengambil hati gue itu, gue menatapnya lama dan mencium keningnya.

Gue berjalan ke sofa kecil yang ada di kamar Bila, iya gue tidur di sofa, gue bukan cowo bejat yang memanfaatkan keadaan dengan tidur satu ranjang. Gue mengeluarkan ponsel dan mencari nama mama, mengabari beliau kalau gue nginap dirumah Bila.

"Halo ma.."

Saat telepon tersambung gue mulai menjelaskan semuanya, sehingga mama mengerti kalau gue memang seharusnya menginap disini untuk malam ini. Gue mematikan ponsel gue dan meletakkannya di meja tepat disamping sofa.

Sebelum gue tidur, gue tersenyum menoleh kearah Bila yang tertidur disana.

sweet dreams, love.

absquatulate ; cthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang