Tiga tahun lalu, saat masih berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Kuliah semester akhir yang tak kunjung menyusun skripsi karena sibuk mencari biaya hidup dari sebuah perusahaan Pialang, ya perusahaan yang menurutku saat itu cepat meraup penghasilan banyak.
Awalnya kuliah sambil kerja di EO milik ibu sahabatku, hanya bekerja jika ada event. Tetapi pendapatan tak mencukupi kebutuhan hidup dan biaya kuliah di kota besar, membuatku nekat bergabung di team Papi di salah satu perusahaan Pialang di pusat kota.
Dengan cepat karir menanjak karena database dan keahlianku dalam menarik minat nasabah untuk menanam modal, uang puluhan juta berhasil aku dapat tiap bulan sampai bisa membeli sebuah motor sport yang ku idamkan. Meski wanita tetapi suka motor sport melengkapi gaya tomboy ku.
Hari itu ada acara gathering bersama komunikasi motor sport kantor, tidak ketinggalan aku ikut hadir. Setelah acara utama selesai kami rencana bermalam di sebuah Villa, tanpa curiga bergabung dengan team komunitas motor sport termasuk Papi sebagai kepala ruangku. Anak-anak muda dengan penghasilan fantastis mudah saja tergoda hidup foya-foya, demikianlah yang aku rasa dari situasi malam itu. Botol-botol minuman keras dengan berbagai merk harga jutaan menghiasi meja, tetapi entah mengapa malam itu aku enggan untuk meneguknya.
"Nduk ayo, sinio kita happy-happy!" Panggil Papi sambil melambaikan tangan ke arahku, karena sungkan menurut saja duduk di sebelahnya.
"Ayo minum, biasane kamu bergelas-gelas kok malah diem ae." ucapnya lagi sambil memeluk pinggangku, sedikit jengah di perlakukan begitu. Meskipun usia sudah dua puluhan tetapi tak pernah tubuh ini dijamah oleh pria, karena aku tidak pernah berpacaran.
Merasa risih aku melepas tangan Papi dari pinggang, tapi Papi malah mencoba memeluk dan mencium. Aku dorong tubuh pria setengah baya itu dan berdiri, tetapi ada Doni manager yang juga mencoba memeluk dari arah depan.
Merasa ada yang tak beres dengan mereka, seolah merencanakan sesuatu untuk mengerjaiku. Mencoba bergerak cepat meraih ransel di meja dan keluar dari Villa, pulang. Ya pulang adalah tujuan terbaik dari pada konyol diperkosa oleh para pemabuk.
Jarum pendek di benda bulat di lengan menunjuk angka sembilan ketika aku starter motor sport merah, tidak perduli teriakan Papi memanggil. Kota Batu yang dingin membuat sedikit menggigil, tapi nekat membelah jalan kecil beraspal yang berkelok.
Villa tadi berada di atas perkampungan dengan jalan yang sudah halus beraspal, lampu jalan cukup terang di kanan kiri. Namun belum lima ratus meter berjalan motor sportku tiba-tiba mati dan tidak mau menyala lagi, padahal motor baru.
"Aaahhh kenapa juga kamu." gerutuku sambil memukul tangki, menoleh kanan kiri mencari rumah penduduk yang terdekat untuk sekedar meminta bantuan. Sialnya rumah penduduk terakhir terlihat seratus meter di atas, tidak mungkin mendorong motor besar ini naik lagi.
Akhirnya mendorong motor turun mencari lampu jalan untuk bisa memeriksa kondisi, tetapi hatiku berdesir takut ketika mendengar deruan motor sport dari kejauhan.
Pasti mesin motor sudah disabotase teman-teman tadi tanpa aku sadari, ini pasti skenario mereka membuat motorku mogok. Sedikit waspada berhenti di bawah lampu jalan pura-pura memeriksa motor, aku mengambil pisau sangkur dari ransel. Ternyata suara motor itu dari arah bawah, dua pengendara motor sport sejenis dengan versi terbaru mendekat membuatku sedikit lega.
Mereka berhenti dan menghampiriku yang berjongkok dekat motor.
"Kenapa?" tanya pengendara motor berwarna putih tanpa turun dari motornya, aku hanya menggeleng sambil berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Yang Terbelah
General FictionCinta tidak pernah salah itu kata mereka, namun kenyataannya cinta selalu salah. Mengatasnamakan cinta membuat sebagian orang menyakiti orang yang dicintai, apa itu benar? Megananda Prameswari, gadis cantik yang hidup di kota Metropolitan menjalani...