Selalu Salah

1.4K 83 1
                                    

Jarum jam menunjuk angka tujuh ketika aku menuruni tangga, terlihat Koko sedang duduk di ruang tengah menonton TV dan Bang Langit sibuk dengan ponselnya di meja makan.

"Pagi Koko, pagi Abang," sapa ku sambil menaruh tas di sofa.

"Hai Cinta, kok sudah rapi?! Kuat ta kerja?" Koko memutar tubuhnya agar bisa memandangku, sedangkan pria bergelar suamiku tak bereaksi apapun.

"Badan sakit semua kebanyakan tidur," Aku merenggangkan otot dengan mengangkat tangan, "Kalau gak kuat ya angkat pakai forklift."

Hahaha.

Tawa kami menggema di ruangan, Bang Langit bersungut menatap tidak suka. Terlebih saat melihat aku mengenakan span hitam di atas lutut dan bluse tanpa lengan, hanya mendengus kesal dan menikmati makan pagi tanpa suara.

Sebenarnya pagi ini jadwalku bikin sarapan, namun Koko melarang dan sebagai ganti sudah membeli nasi campur. Saat membereskan bekas makanan, Bang Langit juga berada di dapur.

Mencoba mengajaknya berbicara meskipun sekedar mengucapkan terimakasih, "Bang, makasih ya!" Ada debaran halus di dada saat menatap lelaki kekar itu semakin gagah dengan kemeja warna biru bergaris putih.

Tidak ada sahutan atau sikap yang menunjukkan Bang Langit respect terhadap ucapanku, perih menjalari tubuh. Meninggalkan rasa hangat di mata, entah mengapa gampang sekali rasa ini hadir ketika ada keinginan dekat dengannya namun dihempaskan sikap dinginnya.

Menunduk menatap kucuran air kran di tempat cuci piring, seolah mewakili mataku yang menahan buliran bening agar tidak jatuh dari sana. Sedangkan Bang Langit berlalu tanpa memperdulikan.

"Cinta, matanya kompres ini dulu gi!" Koko menyodorkan dua bungkusan seperti teh celup, itu ramuan herbal Jepang untuk menghilangkan kantung mata.

Mataku memang berat karena semalam kebanyakan menangis dan kurang tidur, lagi-lagi pria ini yang peka. Dan pagi ini mataku semakin berat, berulang kali beristigfar dalam hati tidak tahu tentang rasa hati ini.

"Cinta, obatnya udah dibawa yang buat siang?" tanya Koko saat mobil mulai meninggalkan garasi, hanya bisa mengangguk dan menatap jalanan yang padat oleh kendaraan.

Bang Langit seperti biasa tanpa berbicara atau pamit langsung berangkat, memang kami tidak sekantor sekarang. Hanya satu dua jam Bang Langit di Mayjend, lebih sering di kantor Perak atau Sepanjang.

.

.

"Me, sudah longgar kan?" Koko masuk ruanganku, begitulah kalau di kantor dipanggilnya Mega bukan Cinta.

"Koko mau pergi?" tanyaku sambil merapikan berkas laporan keuangan.

"Kamu wes selesai?"

"Udah, Mega ikut ta?" mencoba menerka kemana tujuan kami, sebab Koko tahu aku masih kurang fit. Hanya kerlingan genit dari mata sipitnya, "Kemana?" tanyaku sambil meraih tas.

"Adalah, pokok e asik. Ayok!"

Mobil melaju ke arah jalan pulang perumahan, namun melalui pintu timur. Lalu berhenti di bangunan bertulis spa_massage, baru paham maksudnya.

"Mbak paket massage cowok cewek ya, tapi bisa satu ruang?" kata Koko pada resepsionis, aku hanya menatap isi ruangan yang mirip dengan lobby hotel.

Mendekatkan diri ke Koko karena penasaran, sebab kalau Spa bukan di sini biasanya.

"Koko, kok disini?" lirih kubisikan agar tidak terdengar resepsionis yang sedang menghubungi petugas.

"Pijat saja kaki dan bahu, kata temanku di sini enak."

Angkasa Yang TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang