Terpergok

1.7K 88 0
                                    

Kata motivator terkenal Negeri ini, bahwa di manapun kita saat ini berada itu semua adalah rencanaNya. Tidak ada yang sia-sia, dan kini aku menyadari kebenaran kalimat itu.

Di saat harga diri mulai terkoyak oleh pelecehan dari orang terdekat, Allah mengirimkan malaikat untuk membantu. Mendapat pekerjaan yang tidak mungkin aku dapat tanpa koneksi, tempat tinggal yang mewah. Haruskah aku mengeluh hanya karena memasak buat mereka, atau sekedar menyeterika baju-bajunya.

Megananda bukanlah manusia tak tahu balas budi, kamu harus tetap tersenyum meskipun nanti dibentak dimarahi karena sebuah kesalahan.

Memarkir mobil dengan sempurna di depan kantor, Koko bersiul kecil untuk memberi apresiasi atas kemampuan belajar mobil yang cepat aku kuasai.

Kesibukan kantor mulai terasa, Koko berada di ruangannya sedangkan Bang Langit duduk di kursi depanku. Dia sibuk membaca berkas-berkas laporan yang akan di serahkan pada big bos siang ini, konsentrasi sedikit terpecah oleh tatapan mata elang yang sesekali mencuri pandang. Ada apa, Bang?

"Me, tolong bikin o teh tawar lagi ya?" Bang Langit tiba-tiba menyuruh membuat teh, padahal baru saja cangkirnya kosong.

Aku bangkit dan meraih botol minyak angin dari dalam laci, "Abang masih mual ta? Gosokkan minyak lagi ya!" Aku berjalan memutar agar lebih dekat, meraih krah kemejanya bagian belakang.

"Eeiittsss apa sih Me, dilihat karyawan itu lo!" Bang Langit sambil merundukan tubuhnya menjauh, dengan cepat pula aku tahan bahunya agar tidak bergerak.

Tangan kiriku mencengkeram bahunya, "Haaaiisss, sakit masih mikir orang. Diem kenapa sih? cuma bentar biar ndak pusing lagi!" Menyibak rambut ikal yang menutupi tengkuknya.

Leher kekar itu segera kuoles minyak angin, sedikit memijat dengan jari jempol. Keras sekali bahunya, tidak rugi renang dan angkat beban tiap hari dilakoni.

"Kalau masih sakit istirahat aja kenapa, Bang, semua beres kan?" Dia menggeleng cepat, lalu terkikik karena mungkin merasa geli tengkuknya aku urut.

"Ternyata kamu cerewet, gak sopan megang kepala orang tanpa ijin."

"Halaaah, dari pada huek-huek terus. Diam aja kenapa, Mega lo ndak ngapa-ngapain, cuma gosoki minyak."

"Iya, tapi kalau ada yang lihat gak enak Me!"

"Ndak enak kasih penyedap rasa lah Bang, atau knoor jamur biar gurih."

"Hahaha, arek gak genah kok kamu!"

"Eehh enak e di kantor pijat-pijatan, mau lah aku!" Koko Bintang masuk tanpa kami sadari.

"Ini Abang suruh pulang aja Ko, sek belum sehat kok kerja."

"Ya wes, Koko pulang saja! Kan ada Mega yang bantu meeting nanti, ha?" Koko duduk di kursiku, membuka-buka berkas yang berserak di meja.

Tangan Bang Langit memberi kode agar aku berhenti memijatnya, "Ndak apa-apa, saking Mega ae yang mau mijat cowok cakep." Wajah dingin itu menjulurkan lidah, bisa bercanda juga rupanya.

"Diih ngarep, udah capek diledek lagi. Nasibmu Me," gerutuku sambil keluar ruangan untuk menyeduh teh.

.

.

"Kamu asli mana Mega?" Pak Herman menatapku intens, interview yang formalitas kata Koko.

"Magetan Pak," Jemariku dingin dan basah keringat karena gugup, meskipun Pak Herman santai tetapi ini pertama kali berhadapan langsung dengan bos besar. Berbeda dengan saat aku bertemu para bos untuk menawarkan investasi. Banyak pertanyaan yang harus aku jawab, termasuk keluarga.

Angkasa Yang TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang