Makan pagi ditemani dua cowok keren ternyata lebih nikmat, aku tersenyum tanpa sadar. Persetan dengan deheman Thor atau tatapan manis Liang, karena urap-urap di piring lebih menggoda.
Selesai sarapan beringsut kekamar lagi untuk mandi dan menukar piyama si Liang dengan jeans belel, karena aneh saja memakai piyama pria. Keluar kamar tak sengaja menoleh kearah mushola, di sana berdiri dua mahkluk Tuhan yang belum aku tahu siapa namanya sedang menunaikan sholat Dhuha. "Ya Rabb, apa maksudMu atas kejadian ini." gumamku sendiri, iri melihat ketaatan ibadah mereka.
Muka ini menghangat, menatap tangan mereka menengadah doa. Aku yang papa malah jauh dari Pencipta, mereka yang kaya bisa dekat bersamaNya. Pelan menuruni tangga dan duduk di teras bersandar pilar, mencoba mencerna perjalanan hidup sampai detik akhir.
"Hei, perawan pagi-pagi melamun," Si Liang menepuk bahuku, sejenak tersenyum menutupi kekagetan.
"Jadi ikut ta?" tanyanya lagi, sambil memakai sepatu booth karet.
Menatap pria berwajah oriental, sikapnya hangat dan humble, "Jauh ta kebunnya?"
"Setengah kilo lah jalan kaki."
"Bolehlah, siapa tahu beruntung ketemu harimau."
"Hahaha," tawa si Liang sambil mengenakan jaket parasut biru dongker, ke kebun aja keren banget.
"Ayooo jalan! kalau nunggu Koko malah ketinggalan kamu!?" Aku mengekor langkahnya dengan sedikit berlari kecil untuk mengusir rasa dingin, jam delapan masih berkabut.
Beneran, belum lima menit kami berjalan sudah terdengar langkah kaki dari belakang. Aku menoleh, rupanya pria kekar itu tengah berlari. Rambut tergerai sebahu, menggunakan topi warna putih menambah kesan macho.
Tidak menyapa atau berhenti, dia berlari kecil begitu saja melewati kami. Ini cowok dingin banget ya, hemat suara lagi. Ternyata kami menuju kebun apel yang sedang dipangkas atau "Rempes" bahasa setempat, itu yang aku tahu dari Liang.
Pria berwajah sedikit oriental itu lebih banyak berinteraksi denganku, kami duduk di gubuk memperhatikan pekerja. Diam-diam aku mencuri pandang, kulit muka sedikit lebih pucat dari Thor. Ada kumis tipis dengan jenggot yang tipis pula, bibirnya merah alami pertanda tak pernah tersentuh rokok. Berbeda dengan WNI keturunan yang biasanya menjaga jarak dengan orang yang bukan satu RAS, si Liang terkesan familiar dengan siapapun. Kalau si Thor memang dingin tetapi jauh lebih familiar dengan para pekerja, tawanya lepas ketika ada kalimat lucu yang didengarnya.
"Kalian adek kakak, tapi gak mirip?"
"Kami sepupu."
"Ooww pantes, tapi Koko lebih jawani," ujarku sambil menatap ke arah Thor yang masih sibuk berbicara dengan para pekerja.
"Mami Papi nya memang Jawa asli, cuma Papiku yang ada keturunan Tionghoa." Si Liang kembali membuka diri bagaimana mereka sebenarnya, kami berdiri mengikuti langkah pria besar itu ketika memberi kode agar kami melanjutkan perjalanan ke kebun yang lain.
Mulutku hanya melongo melihat kebun jeruk yang sudah mulai menguning, dengan riang memetik dan mengupasnya. Segar dan manis, separuh aku berikan ke Liang. Benar-benar rezeki bisa mengenal pria-pria muda yang kaya ini bathinku, ganteng kaya dan gak jijik harus bergulat dengan panas dan bau tanah kebun.
⭐
Setengah dua belas ketika kami kembali ke rumah, aku memetik beberapa jeruk karena rasanya belum puas makan di kebun tadi. Muka semburat merah karena panas matahari, keringat cukup banyak mengalir dibalik kaos lengan panjang putihku.
Belum habis rasa lelah kaki ini, sudah dengar teriakan si Liang ngajak sholat dhuhur. "Haizzz...benar-benar keren ibadah kalian ya!" Decak kagum hatiku sambil melirik Thor yang cakep dengan kemeja semi koko putih dan sarung putih, andai aku punya suami begitu. Aah menepis sendiri angan yang seolah ngelantur, mereka kaya raya mana mau ama gadis udik, miskin lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Yang Terbelah
Ficção GeralCinta tidak pernah salah itu kata mereka, namun kenyataannya cinta selalu salah. Mengatasnamakan cinta membuat sebagian orang menyakiti orang yang dicintai, apa itu benar? Megananda Prameswari, gadis cantik yang hidup di kota Metropolitan menjalani...