Kopi

1.5K 91 3
                                    


"Cinta, bikin sambelnya jangan pedes-pedes ya!" Koko yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, tiba-tiba ikutan masuk ke dapur.

Abang Langit yang bantuin masak hanya diam, ya tanpa berbicara meskipun tiga puluh menit bersamaku di dapur.

"Mega bikinkan pisah ya Ko, cabe lima cukup?" Koko hanya mengangguk, dua kali masak untuk mereka membuatku paham kesukaan masing-masing. Koko tidak suka pedas dan sedikit sayur, sedangkan Bang Langit suka pedas dan sayuran hijau sama denganku.

Sayur asem, gurami goreng, udang tepung dan sambal siap bersamaan adzan Isya'. Perut harus bersabar dulu, karena wajah dingin itu tak bakalan kasih toleransi buat mengulur waktu sholat. Haaaiisss.

Makan tanpa berbicara satu sama lain, sama-sama menikmati makanan. Sesekali melirik ke arah Bang Langit yang seakan tidak terpengaruh oleh banyaknya cabe yang kubikin sambal, tenang mengunyah seakan tidak ada siapapun di dekatnya. Koko Bintang sesekali menghapus peluh, aku tersenyum melihat bibirnya kian memerah terkena pedasnya sambal. Padahal hanya cabai lima biji, kebanyakan keturunan Tionghoa memang tidak suka pedas.

"Me, tugasmu sudah?" tiba-tiba Bang Langit bicara sambil membereskan meja makan, kini tugas Koko Bintang yang mencuci peralatan.

"Belumlah, habis ini Mega kerjakan lagi. Kan besok dateline_nya."

"Mulai besok pelajari apa jadwal Bintang, bisa bawa mobil kan?" Aku menggeleng,

"Manual saja bisa Bang."

"Kursus!"

"Biar aku ajari aja Ko, kursus mana ada waktu kecuali malam," Koko Bintang menjawab ucapan Bang Langit dari dapur, aku beranjak membantunya meniriskan piring yang telah dicuci.

Pria-pria tampan ini sungguh cekatan mengerjakan urusan apapun, tidak kikuk memasak dan mencuci piring. Pekerjaan yang seharusnya dengan mudah mereka lakukan dengan membayar pembantu, dan lagi-lagi membuatku tidak habis pikir dengan mereka.

Selesai membereskan dapur, buru-buru naik ke kamar. Harus beres malam ini mengerjakan tugas, besok harus siap mendengar Bang Langit ngasih bocoran kerjaan. Lima lembar halaman sudah kukerjakan, mencoba menggerakkan badan dengan melihat luar jendela.

Ada yang bergerak indah di dada ini ketika menangkap sesosok tubuh kekar berambut sebahu itu sedang menari di dalam kolam, pantas saja tubuhnya sedemikian bagus karena tidak pernah mau berdiam diri. Ah kenapa ya dengan dadaku, selalu berderap indah ketika melihat Bang Langit. Jelas-jelas wajahnya tidak pernah ramah, terkesan dingin dan cuek.

Tidak ingin berlarut lama dalam pesonanya, aku turun ke ruang tengah menyusul Koko yang sedang menonton TV. Namun pikiranku malah melayang pada wajah dingin mirip si Thor itu, membayangkan dia membawa payung yang bisa berubah menjadi palu. Aku terbahak tanpa sadar, membuat Koko menoleh.

"Kenapa Me?" keningnya berkenyit seakan ingin tahu apa yang aku tertawaan, sebab cerita di TV lagi sedih.

"Enggak kok Ko, inget tadi pagi aja di kantor. Hahaha, kok bisa kebetulan begitu ya?"

"Ya ndak tahu Me, masak kita tahu rencana Allah. Pikirku kamu kerja dimana gitu, eh malah di kantorku juga."

"Trus yang di Mayjend Sungkono itu kantor apa Ko?"

"Lihat aja besok, pulang kerja dari Perak mampir sana dulu. Oh ya besok siapkan CV ya, formalitas buat Papi saja."

"Siap Bos!"

Buuukkk...

Lagi-lagi kepalaku kena timpuk bantal, sedikit meringis namun melongo saja melihat tubuh keren yang melintas menggunakan bathrobe putih. Ya si Thor sudah kelar rupanya berendam, acuh saja berjalan menuju kamarnya seolah kami tidak ada. Kok bisa ya Koko Bintang kerasan tinggal sama mahkluk dingin gitu, aku yang baru seminggu saja rasanya mules.

Angkasa Yang TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang