Aku hanya manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa, harusnya menyadari resiko tinggal bersama mereka. Pendidikan akhlak dan agama hanya ku kecap ala kadarnya, jika saat ini aku sedikit hafal Al-Qur'an itu karena berkat kekerasan Bang Langit dalam mengajarkan. Namun hati ini terkadang tidak bisa seiring dengan logika, mudah terluka dan merana. Haruskah aku kian terpuruk?
Pelan namun pasti aku akan menghapus satu nama yang tersemat di hati, meskipun kasar namun tak layak dia mendekati diri yang telah ternoda ini. Bukankah jodoh melukiskan siapa diri kita sebenarnya, meskipun itu abstrak di maknai. Haruskah pezina hanya berjodoh dengan pezina, lantas untuk apa orang baik ada di dunia jika bukan untuk mengajak ke jalan hijrah. Semua rahasiaNya!
Tok tok.
Pasti Koko sedang mengantarkan makan siang, bergegas mencuci muka agar tak nampak sisa air mata.
"Cinta."
Tok tok.
Meraih gagang pintu dan menyembulkan kepala, senyum hangat namun ada riak kekhawatiran itu berdiri di depan. Membawa nampan berisi makanan dan analgesik, "Sudah sholat?"
Aku mengangguk dan menerima nampan dari Koko, kami telah sepakat menjaga jarak dan tidak saling memasuki kamar pribadi. Menatap makanan di piring, semua makanan kesukaan. Pasti Koko telah sengaja membeli semua ini, cap cay goreng dan gurami bakar. Ada rujak manis dan lemon tea, ada nyeri di dada mengingat siapa yang seharusnya tahu semua makanan ini. Namun apa Bang Langit tahu apa kesukaanku?
"Mega kenapa?" Suara berat itu terdengar mendekat, tiba-tiba panas sekujur tubuh.
Terburu memberi kode ke Koko agar berlalu dengan gelengan kepala, "Xie-xie Ko."
Menutup pintu segera dan menguncinya, namun sekilas terlihat wajah Bang Langit yang murung dan kelihatan sedih. Berdiri termangu di balik pintu, kembali tergugu dalam sesal. 'Maafkan Mega ya Bang, mungkin ini yang terbaik untuk kita'
.
⭐
.
Ashar dan mahgrib telah berlalu, memilih sholat sendiri di kamar. Sajadah sudah basah oleh air mata, perih ngilu masih setia menghukum tubuh ini meskipun analgesik dua butir melawannya.
[Cinta]
Lagi-lagi koko yang rajin mengirimkan pesan, aku memahami kegelisahannya.
[Iya Ko]
[Makan keluar ya?]
[Tinggal aja Ko, Mega makan di rumah saja]
[Masih sakit] ada emotion menangis.
Hanya diam dan terus menatap kontak dengan PP puding yang aku beri tadi, oh di mana puding itu?
[Koko]
[Cinta]
[Puding di mana]
Masuk gambar di ponsel, puding itu sisa separo.
[Siapa makan?]
[Koko lah, kenapa?]
[Hau cek?]
[Hao chi, Cinta hehehe] Koko mengoreksi ejaan bahasa Mandarin ku.
[Sen cing ping?]
[Shen jing bing, Cinta]
Itulah pria bernama Bintang El Shirazy itu, selalu memberikan contoh langsung namun tanpa ada bentakan atau sikap kasar. Banyak bahasa yang aku pelajari dari Koko, pernah menyarankan untuk les privat namun waktu yang tersisa tidak cukup. Sebagai ganti ada kamus-kamus dan buku penunjang, ada beberapa fikih wanita yang jarang aku sentuh. Kini aku kian memahami apa tujuan semua yang dia lakukan selama ini, seakan menjadikan ku wanita berkelas yang cerdas dalam semua ilmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa Yang Terbelah
General FictionCinta tidak pernah salah itu kata mereka, namun kenyataannya cinta selalu salah. Mengatasnamakan cinta membuat sebagian orang menyakiti orang yang dicintai, apa itu benar? Megananda Prameswari, gadis cantik yang hidup di kota Metropolitan menjalani...